Perang Siffin
PERANG SIFFIN
Surat menyurat dengan Mu’awiyah bin Abu Sufyan
Ketika Ali bin Abi Thalib hendak mengirim utusan kepada Mu’awiyah
bin Abu Sufyan untuk mengajak beliau berbai’at kepadanya, Jarir bin Abdillah
berkata: "Aku bersedia berangkat menemuinya wahai ‘Amirul Mukminin,
sesungguhnya hubunganku dengannya sangat dekat. Aku akan mengambil bai'at
darinyauntukmu”. Al-Asytar menimpali: "Jangan utus dia wahai ‘Amirul
Mukminin, aku khawatir hawa nafsunya akan mengiringi dirinya”. Ali bin Abi
Thalib berkata: "Biarkanlah ia”.
Akhirnya Ali bin Abi Thalib mengutus Jarir membawa surat untuk
diserahkan kepada Mu’awiyah bin Abu Sufyan, yang isinya pemberitahuan tentang
kesepakatan kaum Muhajirin dan kaum Anshar membai'at beliau. Kemudian
menceritakan kepadanya tentang peristiwa peperangan Jamal serta mengajak-nya
bergabung bersama kaum muslim lain-nya.
Ketika Jarir sampai ke hadapan Mu’awiyah bin Abu Sufyan, maka ia
langsung menyerahkan surat tersebut kepadanya, lalu Mu’awiyah bin Abu Sufyan
memanggil Amru bin al-'Ash serta tokoh-tokoh negeri Syam lainnya untuk
bermusyawarah. Namun hasil kesepakatan mereka ternyata menolak berbai'at kepada
Ali bin Abi Thalib hingga para pembunuh Utsman bin Affan di qishash atau Ali
bin Abi Thalib menyerahkan kepada mereka para pembunuh Utsman bin Affan
tersebut. Jika Ali bin Abi Thalib tidak mampu memenuhi permintaan ini, maka
mereka akan memerangi beliau dan menolak berbai'at kepada beliau hingga mereka
berhasil menghabisi seluruh pembunuh Utsman bin Affan tanpa sisa. Dengan
demikian maka Jarir pun pulang menemui Ali bin Abi Thalib dan menceritakan segala
hasil keputusan dari penduduk negeri Syam tersebut.
Ali
bin Abi Thalib Berangkat Menuju Shifin
Setelah mendapatkan keputusan dari Mu”awiyah tersebut, maka ‘Amirul
Mukminin Ali bin Abi Thalib berangkat dari Kuffah dengan tujuan menduduki
negeri Syam, lantas beliau mempersiapkan pasukannya Nukhailah (sebuah nama
tempat di dekat Kufah ke arah Syam). Beliau menunjuk Abu Mas'ud Uqbah bin Amru
al-Badri al-Anshari sebagai ‘Amir sementara di Kuffah. Namun demikian sebenarnya
beberapa orang telah menganjurkan agar beliau tetap tinggal di Kuffah dan cukup
mengirim pasukannya saja yang berangkat ke Shifin, namun be-berapa orang
lainnya menganjurkan agar be-liau turut keluar bersama pasukan.
Berita tersebut akhirnya sampai juga kepada Mu’awiyah bin Abu
Sufyan yang menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib telah keluar bersama pasukan
menuju Syam, kemudian Mu’awiyah bin Abu Sufyan bermusyawarah dengan Amru bin
al-'Ash, ia berkata kepada Mu’awiyah bin Abu Sufyan: "Keluarlah engkau
juga bersama pasukan!" Setelah itu Amru bin al-'Ash bangkit berpidato di
hadapan orang-orang sambil berseru: "Sesungguhnya penduduk Kuffah dan
Bashrah telah musnah pada peperangan, tidak tersisa bersama Ali bin Abi Thalib
kecuali segelintir orang saja. Termasuk sekelompok orang yang membunuh Khalifah
‘Amirul Mukminin Utsman bin Affan. Allah Allah, jangan sia-siakan hak kalian,
jangan biarkan darah Utsman bin Affan tertumpah sia-sia!"

Lalu ia menulis
pesan kepada seluruh pasukan yang ada di seluruh negeri Syam, sehingga dalam
waktu singkat mereka sudah berkumpul dan mengangkat panji-panji bagi‘Amir
mereka masing-masing. Pasukan Syam telah bersiap-siap berangkat, mereka
bergerak menuju Sungai Euphrates dari arah kota Shiffin. Sementara di lain
pihak Ali bin Abi Thalib bersama pasukannya bergerak dari Nukhailah menuju
tanah Syam. Ali bin Abi Thalib mengirim Ziyad bin an-Nadhar
al-Haritsi
maju ke front peperangan terdepan bersama delapan ribu pasukan, yang diikuti
oleh Syuraih bin Hani' bersama empat ribupasukan, mereka berangkat dengan
mengam-bil jalan lain. Sementara itu Ali bin Abi Thalib bersama pasukan lain
terus berjalan hingga menyeberangi sungai Tigris melewati jem-batan Manbij,
kemudian dua pasukan deta-semen bergerak maju ke depan, setelah sampai ke
tujuan, terdengar kabar bahwa Mu’awiyah bin Abu Sufyan telah keluar bersama
pasukan dari negeri Syam untuk bertemu dengan ‘Amirul Mukminin Ali bin Abi
Thalib, dan sebenarnya mereka sangat menginginkan untuk bisa menyambutnya,
namun mereka khawatir karena jumlah mereka lebih sedikit dibanding dengan
jumlah pasukan Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Akhirnya mereka berbelok arah dan
berusaha menyeberang dari arah Anat. Antara Riffah dan Hiet, terletak di tepi
sungai Eufrat. Disitu terdapat sebuah benteng yang kokoh dan masih termasuk
wilayah Al-Jazirah.
Namun demikian, ternyata penduduk 'Anat tidak memperbolehkan mereka
melintas, sehingga mereka pun terus berjalan dan terpaksa menyeberang dari
Hiet, hingga akhirnya mereka berhasil menyusul Ali bin Abi Thalib dan pasukan
inti yang telah mendahului mereka. Saat itu Ali bin Abi Thalib berkata:
"Pasukan detasemenku justru berjalan di belakang pasukan inti?"
Atas kejadian itu, akhirnya mereka memohon maaf kepada Ali bin Abi
Thalib dengan menyampaikan apa yang dialaminya, dan Ali bin Abi Thalib pun bisa
menerima permintaan maaf mereka, kemudian Ali bin Abi Thalib mengirim pasukan
detasemennya ke depan untuk menyambut pasukan Mu’awiyah bin Abu Sufyan setelah
terlebih dahulu menyeberang sungai Euphrates. Ke-hadiran mereka “disambut” oleh
Abul A'war Amru bin Sufyan, pemimpin detasemen dari pasukan Syam, sehingga
kedua pasukan sudah saling berhadapan.
Pada saat itu Ziyad bin an-Nadhar, pemimpin detasemen pasukan Iraq,
mengajak mereka untuk berbai'at kepada Ali bin Abi Thalib, namun mereka tidak
mengindah-kannya, dan akhirnya Ziyad bin an-Nadhar menyampaikan kejadian ini
kepada Ali bin Abi Thalib, sehingga Ali bin Abi Thalib mengirim al-Asytar
an-Nakha'i sebagai ‘Amir pasukan infanteri ke lini depan. Sementara itu pada
sayap bagian kanan, pasukan dipimpin langsung oleh oleh Ziyad, dan di sebelah
kiri dipimpin oleh Syuraih. Ali bin Abi Thalib memerintahkan pasukannya agar
tidak maju terlebih dahulu memulai perang, kecuali bila mereka yang memulainya,
tetapi Ali bin Abi Thalib juga terus memerintahkan serta me-ngajak agar mereka
berbai'at kepadanya, dan menurutnya jika mereka menolak maka janganlah
menyerang terlebih dahulu kecuali bila mereka yang mulai menyerang. Janganlah
mendekat kepada mereka seolaholah ingin menyerang dan janganlah menjauh dari
mereka seolah-olah kalian takut terhadapnya, tetapi hadapilah mereka dengan
sabar hingga aku (Ali bin Abi Thalib) menyusulmu, aku akan segera menyusulmu
dari belakang insya Allah.
Sebelumnya Ali bin Abi Thalib telah mengirim utusannya yakni
al-Asytar untuk memberikan surat kepada Mu’awiyah bin Abu Sufyan dan pasukan
detasemennyayang dipimpin oleh al-Harits bin Jumhan al- Ju'fi. Ketika al-Asytar
tiba dan bergabung bersama pasukan detasemen paling depan, maka ia segera
melaksanakan apa yang diinstruksikan Ali bin Abi Thalib, lalu ia maju
berhadapan dengan Abul A'war as- Sulami, pemimpin detasemen pasukan Mu’awiyah
bin Abu Sufyan. Kedua pasukan saling berhadapan seharian penuh, namun pada sore
hari, Abul A'war as-Sulami menyerang mereka terlebih dahulu tetapi pasukan Ali
bin Abi Thalib berhasil menghadangnya, sehingga terjadilah pertempuran kecil
selama beberapa saat. Setelah peristiwa itu pasukan Syam akhirnya kembali, dan
keesokan harinya kedua pasukan sudah saling berhadapan lagi. Mereka saling
menunggu, dan tiba-tiba al- Asytar maju menyerang, sehingga gugurla Abdullah
bin al-Mundzir At-Tannukhi, dia adalah salah seorang penungang kuda yang handal
dari pasukan Syam. Ia dibunuh oleh salah seorang pasukan detasemen Iraq bernama
Zhibyan bin Umarah at-Tamimi. Melihat posisi seperti itu, Abul A'war bersama
pasukannya menyerang pasukan Iraq, dia bersama pasukan maju menghadang mereka.
Saat al-Asytar berhadapan dengan Abul A'war, dia menantangnya untuk
berduel satu lawan satu, namun Abul A'war tidak mela-yaninya, dan sepertinya
dia memandang al-Asytar bukanlah lawan yang seimbang. Ke-tika malam tiba, maka
kedua kubu pasukan serentak menghentikan peperangan di hari kedua itu, kemudian
pada esok harinya Ali bin Abi Thalib tiba bersama pasukannya. Semen-tara itu
Mu’awiyah bin Abu Sufyan pun tiba bersama pasukannya, sehingga kedua belah
pihak kelompok pasukan itu saling berhada-pan di tempat yang bernama Shiffin,
dekat sungai Euphrates sebelah timur wilayah Syam. Peristiwa ini terjadi pada
awal bulan Dzulhijjah tahun 36 Hijriyah.
Ali bin Abi Thalib kemudian berhenti dan mengambil tempat bermalam
bagi pasukannya, tetapi Mu’awiyah bin Abu Sufyan bersama pasukannya telah lebih
dahulu mengambil tempat, mereka mengambil posisi bivak di dekat sumber mata
air, yang merupa-kan tempat paling strategis dan luas. Pada saat itu datanglah
pasukan Iraq untuk mengambil air, namun pasukan Syam menghalanginya sehingga
terjadilah pertempuran kecil yang disebabkan oleh persoalan air. Masing-ma-sing
pasukan meminta bantuan kepada re-kannya, hingga akhirnya kedua belah pihak
sepakat berdamai dalam masalah air ini. Adapun Ali bin Abi Thalib selama dua
hari di tempat itu, tidak pernah mengirim sepucuk surat pun kepada Mu’awiyah
bin Abu Sufyan, begitu pula Mu’awiyah bin Abu Sufyan tidak mengirim surat pun
kepada Ali bin Abi Thalib. Dalam situasi demikian, kemudian Ali bin Abi Thalib
mengirimkan seorang utusan kepada Mu’awiyah bin Abu Sufyan, namun kesepakatan
belum juga tercapai. Mu’awiyah bin Abu Sufyan tetap bersikeras untuk menuntut
darah Utsman bin Affan yang tewas dibunuh secara zhalim.
Dalam kondisi faith accompli tersebut, maka terjadi kebuntuan
komunikasi, sehingga mengakibatkan pecahnya pertempuran antara kedua belah
pihak. Pada saat itu setiap hari Ali bin Abi Thalib mengirim seorang ‘Amir
pasukan untuk maju bertempur, demikian pula Mu’awiyah bin Abu Sufyan, setiap
hari ia mengirim seorang ‘Amir untuk maju bertempur. Terkadang dalam satu hari,
kedua belah pihak terlibat dalam dua kali pertempuran yang sengit, dan
peristiwa itu terjadi sebulan penuh pada bulan Dzulhijjah.
Pada saat memasuki bulan Muharram tahun 37 Hijriyah, kedua belah
pihak meminta agar perang dihentikan, dengan harapan semoga Allah mendamaikan
mereka di atas satu kesepakatan yang dapatmenghentikan pertumpahan darah di
antara mereka, sehingga juru runding mereka masing-masing terus bolak balik
menemui Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan, sementara kedua belah
pihak berusaha mencoba menahan diri dari pertempuran. Demikian situasi dan
kondisi waktu itu hingga berakhir bulan Muharra tanpa tercapai kesepakatan satu
pun. Dalam situasi seperti itu, Ali bin Abi Thalib menyuruh Martsad bin
al-Harits al-Jasymi untuk mengumumkan kepada pasukan Syam saat terbenam
matahari, sebagai berikut: "Ketahuilah, sesungguhnya ‘Amirul Mukminin
mengumumkan kepada kalian, 'Sesungguhnya aku telah bersabar me-nunggu Ali bin
Abi Thalib kembali ke-pada kebenaran, dan aku telah menegak-kan hujjah atas Ali
bin Abi Thalib, namun Ali bin Abi Thalib tidak menyambutnya. Sesungguhnyaaku
telah memberi udzur kepada Ali bin Abi Thalib
dan telah memperlakukan Ali bin Abi Thalib dengan adil, dan sesungguhnya
Allah SWT tidak menyukai orang-orang yang berkhianat”.
Demi mendengar pernyataan tersebut, maka pasukan Syam segera
menemui para ‘Amir mereka dan menyampaikan pengumuman yang mereka dengar tadi,
sehingga bangkitlah Mu’awiyah bin Abu Sufyan dan Amru bin al-Ash, lalu keduanya
segera menyiapkan pasukan di sayap kanan dan di sayap kiri. Demikian pula Ali
Abi Thalib, beliau menyiapkan pasukan pada malam itu, menempatkan al-Asytar an-Nakha'i
sebagai pemimpin pasukan kaveleri berkuda Kuffah, sedangkan pasukan infanteri
Kuffah dipimpin oleh Ammar bin Yasir, pasukan kaveleri berkuda Bashrah dipimpin
oleh Sahal bin Hunaif, dan pasukan infanteri Bashrah dipimpin oleh Qais bin
Sa'ad dan Hasyim bin Utbah, sedangkan untuk posisi pemimpin para qari
dipercayakan kepada Mis'ar bin Fadaki at-Tamimi.
Ali bin Abi Thalib maju ke hadapan pasukannya dan menyerukan agar
jangan seorang pun memulai pertempuran hingga merekalah yang memulainya dan
menyerang Ali bin Abi Thalib, jangan membunuh orang yang terluka, jangan
mengejar orang yang melarikan diri, jangan menyingkap tirai kaum wanita, dan
jangan melakukan pelecehan terhadap kaum wanita, meskipun kaum wanita itu
mencaci maki pemimpin dan orang-orang Ali bin Abi Thalib!" Pada pagi
harinya Mu’awiyah bin Abu Sufyan muncul, di sebelah kanan pasukannya berdiri
Ibnu Dzil Kala' al-Himyari, kemudian di sebelah kiri pasukannya berdiri Habib
bin Maslamah al-Fihri, di depan pasukan berdiri Abul A'war as-Sulami, sedangkan
pasukan kaveleri berkuda Damaskus dipimpin oleh Amru bin al-'Ash ,
pasukan infanteri Damaskus dipimpin oleh Adh-Dhahhak bin Qais.
Mengenai hal itu, Jabir Al-Ju'fi meriwayatkan dari Abu Ja'far
al-Baqir dan Zaid bin al-Hasan serta yang lainnya, mereka berkata: "Ali
bin Abi Thalib bergerak menuju Syam dengan kekuatan seratus lima puluh ribu
prajurit yang berasal dari penduduk Iraq, lalu Mu’awiyah bin Abu 90 Perang
Shifin Sufyan bergerak dengan jumlah pasukan sebanyak itu pula, yang
berasal dari penduduk negeri Syam.
Ada perbedaan pendapat mengenai jumlah pasukan masing-masing, yang
menga-takan bahwa Ali bin Abi Thalib berangkat dengan membawa seratus ribu
lebih prajurit, sedangkan Mu’awiyah bin Abu Sufyan be-rangkat dengan membawa
seratus tiga puluh ribu tentaranya.
Menjelang terjadinya peperangan, sejumlah prajurit dari pasukan
Syam bersumpah untuk tidak melarikan diri dari medan perang, dengan cara saling
mengikatkan sorbannya masing-masing, yang dilakukan oleh lima barisan pertama
dan akhirnya diikuti oleh enam barisan berikutnya. Demikian pula dengan pasukan
Iraq, mereka melakukan hal yang sama dengan kekuatan ikatan sorban berjumlah
sebelas shaf. Kedua belah pihak pasukan saling berhadapan dengan kondisi
seperti itu pada hari pertama bulan Shafar tahun 37 Hijriyah, tepatnya hari
Rabu.
Adapun panglima perang pasukan Iraq dipimpin oleh al-Asytar
an-Nakha'i, sedangkan panglima perang pasukan Syam saat itu dibawah pimpinan
Habib bin Maslamah, hingga akhirnya kedua pasukan terlibat dalam pertempuran
yang sangat dahsyat sampai keduanya menarik diri pada petang hari, dan hasilnya
pertempuran hari itu berlangsung seimbang. Kemudian pada hari Kamis ke-esokan
harinya, panglima perang pasukan Iraq digantikan oleh Hasyim bin Utbah dan
panglima perang pasukan Syam oleh Abul A'war as-Sulami, hingga kedua pasukan
tersebut kembali berperang dengan sengit, pasukan berkuda bertempur dengan
pasukan berkuda, begitu pula pasukan infanteri bertempur melawan pasukan
infanteri hingga keduanya menarik diri dari medan pertem-puran pada petang
hari, hasilnya antara kedua pasukan itu samasama bertahan dan masih dalam
posisi seimbang.
Pada hari ketiga yakni hari Jum'at, Ammar bin Yasir memimpin
pasukan Iraq, Amru bin al-'Ash memimpin pasukan Syam, peperangan dilanjutkan
antara kedua pasukan. Ammar bin Yasir menyerang Amru bin al-'Ash beserta
pasukannya hingga mereka terpukul mundur. Pada peperangan ini Ziyad bin
an-Nadhar al-Haritsi berduel langsung dengan seorang lelaki. Ketika keduanya
telah saling berhadapan ternyata keduanya telah saling mengenal, dan ternyata
keduanya adalah saudara seibu, sehingga mereka me-narik diri dan kembali ke
pasukan masing-masing. Demikianlah peperangan yang sengit terus berlanjut
dengan kondisi seperti itu selama tujuh hari, dan ketika sore hari tiba maka
kedua belah pihak masing-masing saling menarik diri, dan pada saat
berlang-sungnya peperangan sebenarnya nampak bahwa kedua belah pihak sama-sama
dalam strategi bertahan selama tujuh hari, sehingga hasilnya tidak ada yang
menang dan tidak ada juga yang kalah.
Tahkim
Imam Ahmad berkata, "Ya'la bin Ubaid menceritakan kepada kami
dari Abdul Aziz bin Siyah dari Habib bin Abi Tsabit, ia berkata: 'Aku menemui
Abu Wail di masjid keluarganya dan bertanya kepadanya tentang orang-orang yang
diperangi Ali bin Thalib di Nahrawan, apa sajakah yang mereka penuhi dan apa
pula yang mereka tolak, dan mengapa Ali bin Abi Thalib menghalalkan berperang
melawan mereka?' Ia berkata: 'Sewaktu kami berada di Shiffin dan api peperangan
sedang memanas melawan pasukan Syam, mereka berlindung di sebuah anak bukit.
Amru bin al-'Ash berkata kepada Mu’awiyah bin Abu Sufyan:
"Kirimkanlah mushaf al-Qur'an kepada Ali bin Abi Thalib dan ajaklah ia
bertahkim kepada Kitabullah, sesungguhnya ia tidak akan menolak ajakanmu”.
Dalam situasi seperti itu, maka datanglah seorang lelaki kepada Ali bin Abi
Thalib dan berkata: 'Kitabullah menjadi hakim di antara kita:'Tidakkah kamu
memperhatikan orang-orang yang telah diberi kebahagian yaitu
al-Kitab (Taurat), mereka diseru kepada kitab Allah supaya kitab
itu menetapkan hukum di antara mereka; kemudian sebahagian dari
mereka berpaling, dan mereka selalu membelakangi (kebenaran).' (al
Imran: 23). Ali bin Abi Thalib berkata:"Benar, aku lebih berhak untuk
itu,Kitabullah menjadi hakim di antara kita”.
Adapun diantara tokoh-tokoh negeri Syam yang mendorong dilakukannya
perdamaian tersebut adalah Abdullah bin Amru bin al-'Ash (Diplomat yang cukup
terkenal di semenanjung Abar), ia pandai mencari jalan keluar di saat situasi
sulit. Ia mendatangi pasukan Iraq dan mengajak mereka gencatan senjata serta
penghentian peperangan dan mematuhi apa yang diserukan dalam al-Qur'an
(perdamaian). Ia menyarankan kepada Mu’awiyah bin Abu Sufyan agar pasukannya
yang berdiri di garis depan mengikat Mushaf Al-Qur’an ke ujung tombak sebagai
tanda bahwa perang harus di hentikan dan di adakan perundingan. Cara ini
kemudian di kenal dengan istilah Tahkim. Hal itu beliau lakukan atas
perintah Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Kemudian di antara para tokoh dari pihak Ali
bin Abi Thalib yang menyarankan kepada Ali bin Abi Thalib agar beliau menerima
tawaran perdamaian itu adalah al- Asy'ats bin Qais al-Kindi.
Saat itu mayoritas pasukan Iraq dan pasukan Syam menyambut gembira
rencana perdamaian ini, mereka berharap akan diperoleh kesepakatan yang dapat
menghentikan pertumpahan darah di antara kaum muslim itu sendiri, karena sudah
banyak menelan korban dari kedua belah pihak dalam pertempuran itu, khususnya
pada tiga hari terkahir dan saat mencapai puncaknya per-tempuran, yakni pada
malam Jum'at, yang akhirnya disebut dengan malam Jum'at kelabu.
Dalam peperangan tersebut, para prajurit dari pasukan kedua belah
pihak, telah mampu menunjukkan keberanian dan kesaba-ran mereka yang tidak ada
bandingannya da-lam perang manapun hingga saat ini, sehingga tidak ada seorang
anggota pasukan yang mencoba melarikan diri. Bahkan kedua pa-sukan tetap
bertahan sekalipun sudah banyak prajurit dari keduanya yang terbunuh. Adapun
mengenai hal ini, sejumlah referensi dari Ibnu Sirin, Saif, dan lainnya
menyebutkan bahwa jumlah korban yang gugur mencapai tujuh puluh ribu orang,
dengan perincian empat puluh lima ribu orang dari pasukan Syam dan dua puluh
lima ribu orang dari pasukan Iraq. Sedangkan jumlah pasukan dari kedua belah
pihak, masing-masing berjumlah tidak kurang dari sembilan puluh ribu prajurit.
Ali bin Abi Thalib Audah menyebutkan dalam buku-nya;”Ali bin Abi Thalib
sampai kepada Hasan Husain” anggota pasukan Mu’awiyah bin Abu Sufyan
70.000 orang dan jumlah anggota pasukan Ali bin Abi Thalib seratus ribu.
Al-Baihaqi telah meriwayatkan dari jalur Ya'qub bin Sufyan dari
Abul Yaman dari Shafwan bin Amru ia berkata: "Pasukan Syam berjumlah enam
puluh ribu orang, yang terbunuh berjumlah dua puluh ribu orang. Pasukan Iraq
berjumlah seratus dua puluh ribu orang, yang terbunuh berjumlah empat puluh
ribu orang”.
Al-Baihaqi membawa peristiwa ini kepada hadits yang diriwayatkan
dalam Shahiliain dari jalur Abdurrazzaq dari Ma'mar dari Hammam
bin Munabbih dari Abu Hurairah. Imam al-Bukhari meriwayatkannya dari hadits
Syu'aib dari az-Zuhri dari Abu Salamah dari Abu Hurairah (Shahih
al-Bukhari nomor 3608). Dan dari jalur Syu'aib dari Abu Zinad dari
al-A'raj dari Abu Hurairah dari Rasulullah bahwa beliau bersabda: 92 Perang
Shifin "Tidak akan datang hari Kiamat hingga dua
kelompok besar saling berperang, keduanya terlibat dalam pertempuran
yang dahsyat padahal diawal mereka satu”.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Mahdi dan Ishaq dari Sufyan
ats-Tsauri dari Manshur dari Rib'i bin Hirasy dari al-Bara' bin Nahiyah
al-Kahili dari Abdullah bin Mas'ud ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: "Perang
dalam Islam akan berkecamuk setiap tiga puluh lima atau tiga puluh enam
tahun. Jika mereka binasa maka binasalah semua, jika mereka menegakkan
agama, maka akan bertahan selama tujuh puluh tahun.
Kesepakatan
ber-tahkim (perundingan)
Guna menyelesaikan konflik peperangan terbuka antara kelompok
pasukan Ali bin Abi Thalib dengan kelompok pasukan Mu’awiyah bin Abu Sufyan,
maka kedua belah pihak berupaya melakukan dialog yang dilaksanakan cukup alot
dan panjang melalui ranah perundingan atau yang dikenal dengan sebutan tahkim.
Dalam perundingan tersebut terjadi kesepakatan bersama, yakni masing-masing
‘Amir (Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan) harus mengang-kat
seorang hakim sebagai juru runding, kedua hakim tersebut harus membuat
per-mufakatan yang membawa kemaslahatan ummat muslim.
Adapun dari pihak Mu’awiyah bin Abu Sufyan ditunjuk Amru bin
al-‘Ash sebagai wakilnya, sedangkan dari pihak Ali bin Abi Thalib ditunjuk Abu
Musa al- Asy’ari, seka-lipun pada awalnya Ali bin Abi Thalib menunjuk Abdullah
bin Abbas sebagai wakil-nya, namun para qurra’ (kaum Khawarij)
menolaknya, seraya mereka berkata: “Kami tidak menerima selain Abu Musa
al-Asy’ari.
Sebenarnya mereka tidak menginginkan Abdullah bin Abas karena dia
dianggap mampu mengalahkan Amru bin al-‘Ash dan juga di anggap masih kerabat
dekat dengan Ali bin Abi Thalib. Mereka lebih menginginkan orang yang bisa
lebih lunak untuk dapat mencapai perdamaian, oleh karena itu jatuhlah pilihan
pada Abu Musa al-Asy’ari, seorang yang sudah tua dan baik hati.
Namun demikian ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa
sebenarnya diantara kedua wakil tersebut terdapat jalinan permufakatan untuk
menjatuhkan kedua pimpinan yang bertentangan itu, yakni Ali bin Abi Thalib dan
Mua’wiyah. Dalam tahkim terhadap al Qur’an pertama antara Abu Musa
Asy’ari dengan Amru bin al-Ash yang berlangsung pada tanggal 13 bulan Safar 37
Hijriyah, tercapai kesepakatan untuk tidak saling menyerang yang mereka
tuangkan dalam bentuk persetujuan tertulis. Setelah itu pada enam bulan
berikutnya, yaitu pada bulan Ramadhan 37 Hijriyah atau bulan Februari tahun
658, mereka melaksanakan pertemua kembli di kota Azruh, sebelah timur Syria
guna membahas persoalan perselisihan mereka. Dalam kesempatan itu Amr ibn
al-Ash berusaha keras untuk membujuk Abu Musa al Asyari dengan senantiasa
memuji Abu Musa al Asyari. namun mereka tidak pernah men-capai kesepakatan
khususnya untuk materi penggantian khalifah, oleh karena itu akhirnya mereka
memilih jalan tengah dengan cara referendum, yakni menyerahkan persoalan
pemilihan kepada ummat Muslim untuk menentukan pilihanya masing-masing (Ali bin
Abi Thalib Audah, 2003 : 265).
Amr bin al-Ash meinginginkan agar Abu Musa al Asyari yang
mengumumkan lebih dulu hasil perundingan itu, dan hal ini sebenarnya hanya
strategi untuk menjebak Abu Musa al Asyari dengan kelicikannya, karena setelah
diumumkan hasil perundingan (memecat Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abu
Sufyan) oleh Abu Musa al Asyari, maka secara spontan Amr ibn al-Ash pun maju
dan berkata: “Abu Musa memecat
sahabatnya itu, dan saya ikut memecat orang yang telah dipecatnya, tapi saya
akan mengukuhkan sahabat saya Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Dia adalah wakil Utsman
din Affan dan yang berhak menuntut itu”
Dengan demikian maka Abu Musa al Asyari benar-benar merasa tertipu
oleh Amr ibn al-Ash, sehingga peristiwa tersebut telah merugikan bagi kubu Ali
bin Abi Thalib dan menguntungkan pihak Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Sebenarnya
pemimpin pusat (khalifah) yang legal adalah Ali bin Abi Thalib, sedangkan
Mu’awiyah bin Abu Sufyan hanyalah seorang Gubernur daerah yang tidak mau tunduk
kepada Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah. Dengan digelarnya tahkim
atau arbitrage ini kedudukanMu’awiyah bin Abu Sufyan
naik menjadi khalifah resmi, tidak mengherankan jika keputusan ini akhirnya di
tolak oleh Ali bin Abi Thalib dan beliau tidak mau menyerahkan jabatanya hingga
mati terbunuh pada tahun 661M (Harun Nasution, 2009: 7).
Sikap Ali bin Abi Thalib yang menerima tawaran Amr bin al-Ash untuk
melaksanakan perundingan melalui sistem tahkim atau arbitrase,
sebenarnya dalam situasi yang terpaksa, karena tidak semua pasukannya
menyetujui akan hal itu. Dengan demikian maka sebagian pasukan Ali bin Abi
Thalib menganggap beliau telah membuat kesalahan sehingga mereka segera
meninggal-kan barisan Ali bin Abi Thalib, mereka inilah yang dalam catatan
sejarah perkembangan Islam di kenal dengan nama kelompok al-Khawarij, yaitu
orang yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib.
Dengan peristiwa disersi kelompok al Khawarij tersebut, pada
gilirannya telah menjadikan Ali bin Abi Thalib berhadapan dengan dua musuh
sekaligus, yakni Mu’awiyah bin Abu Sufyan dan al Khawarij, sehingga Ali bin Abi
Thalib memutuskan untuk menghancurkan kaum Khawarij yang bermarkas di Nahawan,
hal ini tentu sangat merepotkan pasukan Ali bin Abi Thalib. Sementara itu
dengan kondisi pihak Ali bin Abi Thalib seperti itu sangat menguntungkan bagi
Mu’awiyah bin Abu Sufyan, karena pihaknya lebih memiliki kesempatan untuk memperluas
dan memperkokoh kekuasaanya hingga akhirnya mampu menguasai daerah Mesir.
Dengan demikian akibatnya sangat fatal bagi pasukan Ali bin Abi Thalib, dimana
kekuatan tentaranya semakin melemah, namun bagi pasukan Mu’awiyah bin Abu
Sufyan malah terus menjadi semakin bertambah besar. Dikarenakan kondisi
ke-kuatan pihak pasukan Ali bin Abi Thalib yang semakin menurun, maka dengan terpaksa
Khalifah Ali bin Abi Thalib menyetujui perjanjian damai dengan Mu’awiyah bin
Abu Sufyan, yang secara politis berarti Ali bin Abi Thalib telah mengakui
keabsahan kepe-mimpinan Mu’awiyah bin Abu Sufyan atas Syria dan Mesir. Begitu
pula kelompok Mu’awiyah bin Abu Sufyan terus berusaha sekuat tenaga untuk
merebut kekuasaan umat dari pengikut-pengikut Ali bin Abi Thalib.
Sementara itu kaum Khawajir yang menganggap bahwa Ali bin Abi
Thalib, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, dan Amru bin al-Ash sebagai sumber dari
pergolakanpergolakan yang terjadi, maka akhirnya mereka merencanakan untuk
membunuh ketiganya pada waktu yang bersamaan, yaitu pada saat waktu Subuh
tanggal 17 Ramadhan 40 Hijriyah.
Sekaitan dengan itu, al-Hamid al- Husaini dalam bukunya yang terbit
pada, menjelaskan bahwa pada peristiwa
pembunuhan ketiga orang tersebut, Mu’awiyah bin Abu Sufyan berhasil lolos dari
usaha pembunuhan kaum Khawarij,
karena setelah konflik dengan pihak Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin
Abu Sufyan selalu mengenakan baju berlapis besi, kemudian Amru bin al- Ash juga
berhasil lolos karena saat itu dia tidak keluar rumah (sakit). Namun Allah SWT
telah mentakdirkan lain bagi Ali bin Abi Thalib, beliau akhirnya wafat terbunuh
pada waktu Subuh tepatnya tanggal17 Ramadhan 40 Hijriyah .
Kesimpulan
Dari pembahasan dimuka diperoleh simpulan yang merupakan jawaban
terhadap perumusan masalah tentang latar belakang, proses terjadinya perang,
dan akibat dari adanya perang, yaitu:
1.
Perang
Shifin merupakan peperangan antara pihak Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin
Abi Sufyan. Diawali ketika khalifah Ali bin Abi Thalib meminta Muawiyah
meletakan jabatan gubernur-nya, namun Muawiyah menolaknya, bahkan secara
terangterangan menentang Ali bin Abi Thalib.
2.
Penolakan
Muawiyah bin Abi Sufyan untuk meletakan jabatan gubernurnya, hal ini memaksa
Ali untuk bertindak melawan Muawiyah bin Abi Sofyan. Maka terjadilah
pertempuran antara pihak Ali melawan Muawiyah di kota tua Shifi dekat Sungai
Eufrat, pada tahun 37 H. Dalam peperangan ini sebenarnya pasukan Muawiyah telah
terdesak kalah dengan 7000 pasukannya terbunuh, dan menyebabkan mereka
mengangkat Al Quran sebagai tanda damai dengan cara Tahkim.
3.
Adanya
Perang Shifin yang diakhiri dengan peristiwa Tahkim yaitu perselisihan
yang diselsaikan oleh dua orang penengah sebagai pengadil, namun tidak
menyelesai-kan masalah, kecuali menegaskan bahwa gubernur yang makar itu
mempunyai kedudukan yang setingkat dengan khalifah, dan menyebabkan lahirnya
golongan Khawarij, yaitu golongan yang keluar dari barisan Ali.
Komentar
Posting Komentar