Makalah Agama dan Kebudayaan
Kata
pengantar
Dengan menyebut nama Allah SWT yang
Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas
kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada
kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Agama dan
Kebudayaan.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal mungkin.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan
tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami
dapat memperbaiki makalah ilmiah ini. Akhir kata kami berharap semoga makalah
ini dapat memberikan manfaat.
Daftar Isi
BAB I
PENDAHULUAN
Agama adalah salah
satu hal terpenting dalam kehidupan manusia di dunia. Agama dijadikan pedoman
dalam kehidupan sehari-hari bagi manusia dalam masyarakat. Akan tetapi, selain
agama ada faktor lain yang mempengaruhi dan dijadikan pedoman hidup masyarakat
yaitu kebudayaan, yang secara turun temurun sudah dianut dari jaman nenek
moyang terdahulu. Agama dan kebudayaan sebenarnya adalah dua hal
yang berbeda. Agama berasal dari Tuhan Yang Maha Esa yaitu penguasa alam
semesta, sedangkan budaya atau kebudayaan adalah buatan manusia yang berupa
kebiasaan yang dilakukan dari waktu kewaktu sehingga membentuk sebuah
kebudayaan.
Dilihat dari segi
Agama dan Budaya yang masing - masing memiliki keeratan satu sama lain, sering
kali banyak di salah artikan oleh orang - orang yang belum memahami bagaimana menempatkan
posisi Agama dan posisi Budaya pada suatu kehidupan dan juga bagaimana suatu
budaya ketika masuk pada wilayah kebudayaan lain. masih sering ada segelintir
masyarakat yang mencampur adukkan nilai - nilai Agama dengan nilai-nilai Budaya
yang padahal kedua hal tersebut tentu saja tidak dapat seratus persen
disamakan, dan juga terkadang agama dikatakan sebagai bagian dari kebudayaan.
Dalam kehidupan manusia, agama dan budaya jelas
tidak berdiri sendiri, keduanya memiliki hubungan yang sangat erat dalam
dialektikanya; selaras dalam menciptakan ataupun kemudian saling menegasikan. Agama sebagai pedoman hidup manusia
yang diciptakan oleh Tuhan, dalam menjalani kehidupannya. Sedangkan kebudayaan
sebagai kebiasaan tata cara hidup manusia yang diciptakan oleh manusia itu
sendiri dari hasil daya cipta, rasa dan karsanya yang diberikan oleh Tuhan.
Agama dan kebudayaan saling mempengaruhi satu sama lain. Agama mempengaruhi
kebudayaan, kelompok / masyarakat / suku / bangsa. Kebudayaan cenderung
mengubah-ubah keaslian agama sehingga menghasilkan penafsiran berlainan.
1.
Bagaimana
hubungan antara agama dan kebudayaan?
2.
Bagaimana penempatan posisi Agama dan posisi Budaya dalam
kehidupan?
3.
Bagaimana
suatu budaya ketika ia masuk pada wilayah kebudayaan lain?
4.
Bagaimana
agama bisa dikatakan bagian dari kebudayaan?
1.
Untuk
mendeskripsikan hubungan antara agama dan kebudayaan.
2.
Untuk
mendeskripsikan posisi Agama dan posisi Budaya
dalam kehidupan.
3.
Untuk
mendeskripsikan ketika ia masuk pada wilayah kebudayaan lain.
4.
Untuk
mendeskripsikan Bagaimana agama bisa dikatakan bagian dari kebudayaan.
Manfaat penulisan makalah ini
terbagi menjadi dua yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.
1.
Manfaat
teoretis
Secara teoritis, makalah ini
diharapkan dapat menjadi referensi atau masukan bagi perkembangan ilmu
pengetahuan terutama mengenai agama dan kebudayaan serta menambah kajian ilmu
khususnya di kalangan mahasiswa.
2.
Manfaat
praktis
Secara praktis, makalah ini
diharapkan dapat menjadi masukan bagi para calon konselor dalam membantu membimbing
masyarakat di dalam menerapkan nilai-nilai agama dan kebudayaan dalam kehidupan
sehari-hari.
BAB II
PEMBAHASAN
Manusia,
masyarakat, dan kebudayaan berhubungan secara dialektik. Ketiganya berdampingan
dan berimpit saling menciptakan dan meniadakan. Persisi seperti permainan gamsut
(barangkali dari kosa kata inggris: game suite) yang sering kita
mainkan waktu kecil; gajah (disimbolkan ibu jari) mengalahkan manusia (jari
telunjuk); manusia mengalahkan semut (jari kelingking); dan semut mengalahkan
gajah. Ketiganya ada secara bersama-sama, berimpit untuk menciptakan relasi
makna. Keberadaan mereka tidak bisa mandiri tanpa berkaitan dengan yang
lainnya; jari telunjuk tetap sebagai jari telunjuk, tidak sebagai manusia yang
sanggup memencet semut atau diseruduk gajah; demikian pula ibu jari dan
kelingking. Dalam relasi itu juga masing-masing mengalami kehilangan dirinya
dalam sebuah momen untuk kemudian bisa muncul kembali dalam momen yang lain.
Pada satu momen, jari telunjuk kalah oleh ibu jari, namun ia akan menjadi
pemegang peranan ketika ibu jari dikalahkan oleh jari kelingking. Demikian
seterusnya, berulang-ulang sesuai dengan momen-momen yang diciptakan kehidupan.
Hubungan
manusia, masyarakat, dan kebudayaan pun berada dalam dialektika gamsut ini.
Satu sisi manusia menciptakan sejumlah nilai bagi masyarakatnya, pada sisi yang
lain, secara bersamaan, manusia secara kodrati senantiasa berhadapan dan berada
dalam masyarakatnya, homosocius. Masyarakat telah ada sebelum seorang
individu dilahirkan dan masih akan ada sesudah individu mati. Lebih dari itu,
di dalam masyarakatlah dan sebagai hasil proses sosial, individu menjadi sebuah
pribadi; ia memperoleh dan berpegang padasuatu identitas. Manusia tidak akan
eksis bila terpisah dari masyarakat. Dengan kata lain, masyarakat (sebagai
kumpulan individu-individu manusia) diciptakan oleh manusi, sedangkan manusia
sendiri merupakan produk dari masyarakat. Kedua hal itumenggambarkan adanya
dialektika inheren dari fenomena masyarakat.[1]
Inilah yang dimaksud dengan dialektika sosial.
Proses
dialektika fundamental itu, menurut Berger, terdiri atas tiga momentum atau langkah: eksternalisasi, objektivasi,dan
internalisasi.[2]ketika
seorang manusia hidup dalam masyarakat, ia akan senantiasa menganggap dirinya
sebagai bagian penting dalam masyarakat tersebut. Keadaan dan proses inilah
yang dikenal dengan eksternalisasi. Seorang individu berusaha untuk mencurahkan
(mewujudkan) eksistensi dirinya (kedirian) secara terus menerus kedalam dunia,
baik dalam aktifitas fisik maupun mentalnya.[3]
Dari hasil dialektis antara kecenderungan untuk melakukan eksternalisasi dengan
fakta-fakta yang melingkunginya, terbentuklah suatu idiom budaya yang
dihasilkannya. Idiom-idiom (baik fisik maupun mental) budaya tersebut kemudian
disadangnya, objektivasi. Dan karena kekuatan lingkungan yang melingkupinya,
individu manusia akhirnya melakukan internalisasi untuk menemukan
kesamaan-kesamaan, untuk bisa melakukan interaksi di antara mereka. Dengan
demikian, melalui ekternalisasi, masyarakat adalah produk manusia, melalui
objektivasi; masyarakat menjadi realitas sui generis, unik . dan,
melalui internalisasi, manusia merupakan produk masyarakat.[4]
Dalam
kehidupan berbudaya, manusia melakukan proses objektivasi. Istilah objektivasi
adalah isitilah yang digunakan oleh Daniel Miller dalama bukunya Material
Culture and Mass Consumption, untuk menjelaskan pandangan Hegel tentang
hubungan dialektika antara ‘objek’ dan ‘subjek’. Istilah ini dijelaskan Miller
sebagai “...proses ganda, yang melalui subjek mengekternalisasi dirinya melalui
suatu tindakan kreatif diferensiasi, dan selanjutnya mengembalikan untuk diri
ekternalisasi ini melalui tindakan yang disebut Hegel sebagai sublasi
(semacam pemberian pengakuan) (Miller 1987:28).
Proses
objektivikasi ini, menurut Miller, melibatkan hubungan antara subjek (dalam hal
ini adalah manusia, dan biasanya bersifat kolektif), kebudayaan - sebagai
bentuk ekternal - dan artefak - sebagai
objek ciptaan manusia. Dalam kaitan ini, subjek mengeksternalisasikan dirinya
melalui penciptaan objek-objek, yang dimaksudkan untuk menciptakan
‘diferensiasi’ (penciptaan perbedaan dengan objek-objek sebelumnya), kemudian
menginternalisasikan (mengembalikan pada diri) nilai-nilai ciptaan tersebut
melalui proses sublasi atau pemberian pengakuan.
Akan
tetapi, dalam proses sublasi ini, sang subjek selalu merasa tidak puas
dengan hasil ciptaannyasendiri karena ia selalu membandingkan hasil ciptaan
tersebut dengan pengetahuan atau nilai absolut, yang justru beranjak lebih jauh
tatkala ia didekati atau diacu. Sehingga yang kemudian terjadi adalah rasa
ketidakpuasan tanpa akhir serta penciptaan terus-menerus untuk pemenuhannya.
Rasa ketidakpuasan abadi terhadap hasil ciptaan inilah yang pengembangan lebih
lanjut dalam suatu dialektika pembicaraan.[5]
Agama
dalam konteks budaya berada dalam dialektika ini. Ada seorang manusia yang
melakukan pemaknaan baru terhadap sistem nilai suatu masyarakat lalu
mengemukakannya dengan meminjam simbol budaya yang telah tersedia. Perbedaan
agama sebagai produk budaya dengan produk lainnya - konstruksi rumah atau model
berpakaian, misalnya – terletak pada transendenan yang dihasilkan agama.
Transendensi
– secara harfiah bermakna “yang mengatasi sesuatu” atau “ berdiri di luar
sesuatu”[6].
Kematerialan menghentikan manusia pada penyimpulan buntu, terantuk pada
kepejalan dan bentuk yang menipu. Padahal, manusia dihadapkan pada sejumlah ke-asurd-an
yang membingkan dan sering memuatnya putus asa (kondiri disharmoni). Pada saat
itu dibutuhkan pemaknaan yang sanggup mengeluarkan manusia dari rasa cemas akan
kehidupan (angst), suatu pemaknaan transenden yang kemudian disebut
agama. Pemaknaan itu biasanya disebut nilai-nilai yang meneritakan dunia di
luar realitas keseharian (beyond reality), nilai-nilai itu menjadi lumbung harapan bagi
terciptanya harmoni. Hal ini mungkin terjadi karena harapan akan adanya
kehidupan yang adil di “luar sana” membuat manusia tetap tenang dan sabar di
tengah ketidakadilan relitas keseharian . lumung harapan ini tentu bersifat
abstrak: masalah rasa. Ia akan masuk menjadi harapan priadi manusia ketika
manusia melakukan sejumlah kegiatan yang dianggap berasal dari “dunia asal”
lumbung harapan itu. Kegiatan ini disebut ritual (upacara sakral dengan
melakukan kegiatan dan menggunakan simbol tertentu) yang dirujukkan kepada
perilaku yang dulu ( in illo temporae) dilakukan oleh pencetus pemaknaan
transendensi.
Agama,
dengan demikian, berasal dari proses objektvasi tertentu yang bernialai
transenden. Sebagai proses objektivasi, di dalamnya melibatkan hubungan antara
subjek ( yang dalam hal ini adalah manusia, dan biasanya ersifat kolektif),
kebudayaan (sebagai bentuk eksternal), dan artefak (sebagai objek ciptaan
manusia). Agama, dalam kaitan ini, terjadi ketika objek mengeksternalisasikan
dirinya melalui penciptaan objek-objek, yang dimaksudkan untuk menciptakan ‘diferensiasi’
(penciptaan perbedaan dengan objek-objek sebelumnya), kemudian
menginternalisasikan (mengembalikan pada diri) nilai-nilai ciptaan tersebut
melalui proses sublasi (pemberian pengakuan).
Hal
yang sama terjadi ketika ada suatu agama masuk pada masyarakt lain di luar
masyarakat pembentuknya. Agama itu akan mengalami proses penyesuaian dengan
kebudayaan yang telah ada. Ada kompromi nilai atau simbol antar agama yang
masuk dengan kebudayaan asal yang menghasilkan bentuk baru yang berbeda dengan
agama atau bbudaya asal. Proses penyesuaian ini terjadi begitu saja dalam
setiap proses pemaknaan di tengah masyarakat yang telah memiliki struktur
kebudayaan. Dalam kerangka objektivasi, hal ini terungkap pada saat proses sublasi
atau pemberian pengakuan hasil kerja budayanya. Pada proses sublasi, sang
subjek selalu merasa tidak puas dengan hasil ciptaannya sendiri, karena ia
selalu membandingkan hasil ciptaan itu dengan pengetahuan atau nilai absolut dari
kebudayaan yang telah ada. Denagn demikian, suatu agama yang masuk pada
masyarakat tertentu tidak pernah bisa ditemukan sebagaimana dalam bentuk
aslinya secara utuh; selalu ada fluiditas atau pelenturan nilai-nilai.
1.
Hakikat
dan Fluiditas Kebudayaan
Mengutip Rene char, “kebudayaan
adalah warisan kita yang diturunkan tanpa surat wasiat ( notre heritage
n’est precede d’aucun testament)”. Lewat kutipan itu, dapat dikemukakan
bahwa pada awalnya kebudayaan adalah nasib, kemudian baru kita memanggulnya
sebagai tugas. Pada mulanya kita adalah penerima yang bukan saja menghayati
tetapi juga menjadi penderita yang menanggung beban kebudayaan itu, sebelum
kita bangkit dalam kesadaran untuk turut membentuk dan mengubahnya.
kutipan itu menunjukkan bahwa pada
satu sisi kebudayaan adalah suatu produk masa lalu dan pada sisi yang lain
adalah proses yang kita lakukan dengan menggunakan produk itu. Melalui kutipan
ini, akan dikemukakan juga kecenderungan melihat kebudayaan seagai kata benda (produk
masa lalu) atau seagai kata kerja (proses).
Kalangan ilmuan sosial sering
melihat kebudayaan sebagai realitas, sesuatu yang sudah diiptakan, dihasilkan,
dibentuk ,atau sudah dilembagakan. Ini berarti kebudayaan dianggap sebagai
produk, bukan sebagai proses. Kuntjaraningrat memandang kebudayaan dalam tiga
wujud, yaitu dalam sistem ide-ide, sistem tingkah laku, dan sebagai perwujudan
benda-benda budaya.[7] Ketiga
wujud itu dipandang Kuntjaraningrat sebagai produk. Jadi yang dimaksud dengan
ide di atas adalah ide yang sudah terbentuk bpada suatu kelompok etnis. Tingkah
laku yang dimaksud, misalnya, sistem interaksi yang sudah dimantapkan bahkan
dilembagakan, dan kebudayaan material yang diperhatikan adalah ciptaan berupa
benda-benda fisik yang sudah jadi.[8]
Mengemukakan kebudayaan sebagai
produk, barangkali berasal dari cara pandang yang menerna budaya sebagai
artefak on sich. Anggapan terseut akan berhadapan dengan mereka yang
menilai budaya dari sisi proses, seperti mereka yang menekankan kebudayaan pada
ide-ide kognitif saja, yang menyebabkan kebudayaan dianggap sebagai sistem
pengetahuan atau sistem makna (system of meaning),[9]
atau yang menekankan pada ide-ide normatif yang menyebabkan kebudayaan dianggap sebagai sistem nilai(system of
value).[10]
Demikian juga dalam membicarakan tingkah laku, penekanan dapat diberikan kepada
tingkah laku yang berpola, baik tingkah laku sebagai hasil interaksi yang
distabilkan dalam pranata sosial maupun sebagai proses yang ditentukan oleh
suatu stimulus luar, baik stimulus individual dan momentan yang menentukan
respons yang bersifat behavioristik maupun stimulus yang berasal dari struktur yang
lebih permanen yang menimbulkan respons yang bersifat sosio-deterministik.
Selanjutnya, benda-benda kebudayaan material dapat dipandang sebagai alat yang
menghubungkan manusia dengan alam (ini kemudian menghasilkan teknologi),
ataupun dipandang sebagai sarana dalam membina hubungan dengan orang lain (yang
kemudian menghasilkan benda-benda simbol yang merupakan materialisasi nilai
atau makna tertentu).
Cara mengamati kebudayaan sebagai
proses ini mengandaikan adanya kontinyuitas perkembangan, kebangkitan , dan
keruntuhan suatu kebudayaan. Untuk itu, ada dua kebutuhan asasi dalam
kebudayaan. Di satu pihak, s,etiap kebudayaan mempunyai kebutuhan untuk
menentang perubahan dan mempertahankan identitas, dan di pihak lainnya
mempunyai kebutuhan dalam berbagai tingkatannya untuk menerima peruahan, dan
mengembangkan identitasnya lebih lanjut. [11]Atas
dasar anggapan ini, kebudayaan akan terus berubah dalam proses dengan gerakan
tiga langkah.
Dipandang dari sudut nilai, yang
terjadi dalam proses tersebut adalah penerimaan nilai-nilai, penolakan
nilai-nilai yang sudah diterima, dan penerimaan niali-nilai baru. Yang
berlangsung di sini adalah gerak dari integrasi, malalui disintegrasi, menuju
reintegrasi. Yang berubah dalam proses tersebut adalah sistem normatif (value
system). Kemudian, kalau perubahan ini di pandang dari sudut
kebudayaan sebagai sistem pengetahuan dari sistem makna (system of meaning),
maka yang terjadi adalah penerimaan
suatu kerangka makna atau kerangka pengetahuan, penolakan kerangka tersebut,
dan penerimaan kerangka pengetahuan dan kerangka makna yang baru. Yang berlaku
di sini adalah gerak, dari orientasi menuju disorientasi, menuju reorientasi.
Yang berubah dalam proses tersebut adalah sistem kognitif. Selanjutnya, kalau
perubahan ini dipandang dari sudut tingkah laku, maka yang terjadi adalah
penerimaan pola-pola tingkah laku dan bentuk interaksi, penolakan pola-pola
tersebut, dan pengambilan pola-pola tingkah laku yang baru. Dilihat dari sudut
orang-orang yang berinteraksi, proses tersebut seakan-akan bergerak dari
sosialisasi, melalui disosialisasi, menuju resosialisasi. Dan jika dilihat dari
sudut pemantapan dan pelembagaan bentuk-bentuk interaksi tersebut, maka yang
terjadi adalah pergeseran dari tahapan organisasi, melalui disorganisasi,
menuju reorganisasi tingkah laku.
Dari sisi proses, kebudayaan
terlihat sebagai realitas yang tidak pernah berhenti pada suatu jejak. Jejak selalu
menyimpan nostalgia jejak sebelumnya, sekaligus menyimpan energi yang akan
melesatkannya untuk menciptakan jejak baru. Ketiga jejak itu mungkin saling
berbeda tetapi saling berhubungan . dari sisi proses ini juga terlihat adanya
fluiditas (pelenturan) wujud kebudayaan dari posisi A ke posisi dis-A untuk
menghasilkan re-A.
2.
Fluiditas
Fluiditas adalah pelenturan suatu
budaya ketika ia masuk pada wilayah kebudayaan lain. Pelenturan itu membuat
simbol budaya tersebut memetamorfosis dalam maknanyayang baru, sekaligus
membuat simbol yang sama menjadi memiliki ketidakjelasan dibandingkan dengan
simbol asalnya. Pelenturan ini terjadi karena manusia bukan mesin foto kopi
yang bisa dan mau menjiplak apa yang diterimanya; manusia selalu menyiasati apa
yang diterimanya secara sadar maupun tidak sadar.
Contoh yang menarik tentang
fluiditas ini adalah kaligrafi. Di dunia Islam, pada awalnya, kaligrafi
merupakan seni rupa alternatif yang dilakukan perupa muslim pada saat ada
larangan menggambar makhluk yang bernyawa. Maka seni rupa dikembangkan dengan
mengeksploitasi bentuk huruf Arab yang lentur. Artinya, seni rupa berdiri tidak
di atas kenaturalannya dalam menggambarkan objek, tetapi dalam makna yang
didapat dari kalimat suci yang dieksplorasi dalam bentuk tertentu yang tidak
menyerupai makhluk hidup. Namun, pada masyarakat tertentu, di Cirebon misalnya,
kaligrafi berubah menjadi bentuk gambar yang tetap mempertahankan aturan
asalnya (mengeksplorasi bentuk huruf dari kalimat suci). Dalam bentuk barunya
ini, kaligrafi tetap dinikmati lewat perenungan makna lafadsnya sekaligus juga
bentuk yang dikemukakannya. Misalnya, kaligrafi kalimah syahadatayn dalam
bentuk orang yang sedang duduk tahiyyat atau bentuk semar, dan kaligrafi bismillah
dalam bentuk burung terbang.
Fluiditas ini pula yang membuat
realitas sosial tidak bisa dipaksakan sama dengan grand teori yang
berlaku. Teori hanyalah pengantar apresiasi, bukan penakar yang mutlak mengenai
suatu gejala. Misalnya, temuan Endo Suanda di Cirebon tentang fluiditas budaya
kelisanan dan keberaksaraan. Secara teoritis, perpindahan dari kelisanan menuju
keberaksaraan akan mengubah cara berfikir, misalnya, pada keberaksaan ada
asumsi tentang “matinya pengarang” atau tidak pentingnya kehadiran siapa yang
mengungkapkan karena teks bacaan yang di tangan benar-benar terlepas dari
konteks yang melingkupinya dan karenanya pemaknaan bergantung pada aksara yang
tertera. Di Cirebon, demikian ungkap Endo, teks-teks tulisan tertentu bermakna
bukan karena ia memiliki aksara namun karena ia menyimpan kehadiran tertentu.
Jika rumusan kehadiran itu dihilangkan, aksara yang ada dalam teks menjadi
tidak memiliki makna. Teks yang dimaksud adalah sejumlah rajah. Atau, Endo
menambahkan, “Ada jenis fluiditas lain: kelisanan biasanya dicirikan karena ia
diucapkan. Namun, pada tradisi Cirebon, ada jenis budaya lisan. Hal ini
didekatinya dengan cara yang sepadan dengan apa yang menjadi paradigma tradisi
tersebut.
Apa yang dimaksud dengan paradigma
di sini adalah keseluruhan susunan kepercayaan, teknik, nilai, dan sebagainya
yang dimiliki bersama oleh anggota masyarakat tertentu. Ia dapat menunjukkan
sejenis unsur dari keseluruhannya yang jika digunakan sebagai model atau contoh
, dapat memecahkan kehidupan sosial. Dengan kata lain, tidak ada masyarakat
yang tidak memiliki paradigma. Dalam keadaan normal, paradigma adalah sistem
acuan menyeluruh yang membimbing kegiatan anggota masyarakat. Gejala tidak
dapat lolos dari paradigma. Sebaliknya, paradigma yang dapat lolos dari gejala.
Pengamatan terhadap gejala selalu dituntun oleh paradigma. Dalam hal ini, si
pengamat (yang juga pelaku) berkesempatan menjabarkan dan mengembangkan
paradigma secara rinci karena ia tidak sibuk dengan hal-hal fundamental.
Paradigma lokal inilah yang kemudian membuat teori luar yang dihasilkan dari
pengamatan terhadap masyarakat berparadigma lain tidak bisa dijadikan ukuran
yang semena-mena.
Penghargaan terhadap paradigma lokal
ini berdasarkan asumsi bahwa dalam sebuah kultur ketidakjelasan merupakan
sebuah kekuatan (sebuah daya). Konsep kultural (yang hidup) itu harus
mengandung ketidakjelasan. Ketidakjelasan memberi ruang kreatif yang seolah tak
terbatas, tidak terduga. Ketidakjelasan memberi fluiditas yang akan
menyesuaikan dengan gerak alami (dan juga logis), human, saat demi saat,
serta situasi demi situasi. Jika segala sesuatu dalam kesenian dapat
diperjelas, maka tak ada lagi kekuatannya, tak ada lagi yang menarik untuk
hidup kreatif di dalamnya. Tetapi, dari kenyataan praktis, sebaliknya, kita pun
menyaksikan terus upaya-upaya untuk memperjelas ini (misalnya, untuk membatasi
ruang gerak kehidupan interpretatif) di dunia birokrasi, negara, ataupun
akademi.
Dalam zaman modern ini, upaya
formalisasi, penjelasan, dan pemastian, semakin keras. Fluiditas seperti pada
kaligrafi semakin bergeser ke dunia pembakuan, kepada kekuatan formal bentuk
ijasah, surat-surat izin resmi, keputusan, dan stempel. Sehingga, fluiditasnya
bukan lah dala membuat sistemnya yang cair mengalir, tetapi dalam manipulasinya
(bagi orang cerdik) atau dalam dunia pemalsuannya. Maksudnya, perbedan ini
adalah salah satu walau bukan satu-satunya yang membuat konflik; dari satu sisi
naturalnya yang cair, dari sisi lain interes ke arah ketegaran. Kita
sering menyaksikan konflik atau ketegangan dalam berbagai bentuk: antara
kehidupan formal dan riel.
Maka membaca kebudayaan tidak sama
dengan membaca bagian-bagian spesies dalam ilmu alam. Di dalam wacana
kebudayaan kedinamisan menjadi tantangan utama yang mementahkan setiap upaya
untuk merumuskan secara mutlak apa yang di temukan di suatu wilayah. Dengan
fluiditas, kita akan menemukan betapa suatu kebudayaan ketika memasuki wilayah
lain akan mengalami perubahan (dalam makna positif atau negatif) yang tidak
bisa ditemukan di wilayah asalnya.
3.
Membaca
kebudayaan adalah menafsir
Teori sosial pada awalnya bersifat
historis dan komparatif. Objek analisanya berupa kasus tertentu, seperti telaah
Weber mengenai irokrasi Jerman atau tulisan Marx tentang kapitalisme Inggris.
Dalam sudut teori ini, memahami suatu masyarakat berarti memahami perbedaannya
dengan berbagai bentuk kehidupan di masa-masa dan tempat yang berbeda.
Kemudian, setelah perang Dunia II,
terjadi perubahan arus utama tradisi intelektual dalam ilmu sosial, yaitu
berkembangnya “teori modernisasi” yang menerapkan analogi antara evolusi sosial
dan organik.teori ini menyatakan bahwa munculnya bentuk-bentuk sosial yang
lebih kompleks ditentukan oleh dua prose kembar, yaitu spesialisasi dan
diferensiasi struktural pada satu sisi, dan pada sisi yang lain ditentukan oleh
mekanisme integrasi dan koordinasi sosial. Untuk mengamati perubahan sosial
yang terus bertambah rumit, teori ini mengemukakan pengkhususan dalam
penilikannya, yaitu bahwa teori ilmu sosial, secara khusus, harus menilik
perkembangan simbol-simbol kebangsaan dan komunitas yang lebih universal.
Perkembangan simbol-simbol yang lebih universal ini pada gilirannya akan
melemahkan ikatan-ikatan sempit keluarga, suku, agama, menghilangkan potensi
perpecahan dan menyediakan suatu konsensus umum bagi kehidupan politik.
Dengan terus bertumpu pada
historisitas dan komparatif, teori ini dikembangkan menjadi paradigma
modernisasi. Watak paradigma ini adalah terjadinya generalisasi yang berlebihan
terhadap apa yang terjadi di Barat. Pendekatan ini akhirnya memaksakan suatu
model deterministik yang sempit atas perubahan yang terjadi di dunia Barat.
Kesempitan teori ini akan
menyulitkan ketika peneliti ilmu sosial menerapkannya dalam studi kasus-kasus
real. Generalisasi teori modernisasi yang mengatakan bahwa modernisasi
mengarahkan struktur budaya lama menumbuhkan struktur budaya baru yang lebih
barat tidak selamanya ditemukan pada kasus real. Gebertz, misalnya, pada salah
satu penelitiannya menekukan bahwa pembangunan seringkali menguatkan kembali
struktur-struktur sosial lama, bukan menghilangkan mereka untuk membebri tempat
kepada lembaga-lembaga baru yang lebih khusus.
Akhirnya, teori modernisasi merosot
ketika “konsensus ortodoks” (Giddens, 1984, xv) yang mendasari program kerjanya
dipertanyakan. Kemerosotannya berkaitan dengan perkembangan yang lebih luas di
dalam dan di luar ilmu-ilmu sosial. Di Barat, misalnya, konflik seputar masalah
ras, gaya hidup, agama, gender memberi kesan kepada pengamat bahwa masyarakat
modern belum mencapai suatu “konsensus kewargaan” yang kuat seperti diduga. Di
dunia ketiga, kekeacauan politik, pertentangan etnis, dan pertumbuhan yang
tidak merata mengemukakan fenomena bahwa perubahan modernisasi hanya teoretis
belaka walaupun telah dilakukan proses pembangunan dan sejenisnya.
Lalu,ilmuan sosial , seperti Geertz,
mengajukan “pembentukan kembali pemikiran sosial” (1983, 19) yang mulai
melirikb penggunaan hermeneutik dalam mengamati kasus-kasus sosial real.
Pendekatan ini berpusat pada makna dalam memahami kehidupan sosial. Realitas
sosialberbeda dengan dunia alam yang berproses secara lepas dari pengetahuan
pada pelakunya, tidaklah terwujud objektif. Realitas sosial secara rumit
dibentuk oleh kultur dan makna karena para pelaku menggunakan pengetahuan
mereka untuk menyesuaikan dirinya dan mengubah dunia dimana mereka menjadi
bagiannya. Artinya, ilmu sosial tidak bisa diukur dengan paradigma ilmu alam.
Pada ilmu sosial, objek penelitian bergerak aktif dan tak terduga, sedangkan
objek ilmu alam diam dan bisa diprediksi. Atas dasar pemikiran itu, maka
interpretasi kebudayaan harus menjadi inti usaha sosiologis, bukan sekadar
piranti dalam ilmu sosial (Berger &Luckman, 1966, 18).
Pendekatan ini mendorong
penelitiuntuk memperhatikan sejarah dan budaya lokal, serta mengembangkan model-model
perubahan sosial dari bawah ke atas (bottom up), bukan melalui deduksi
dari pernyataan-pernyataan abstrak. Namun , penolakan terhadap teori
modernisasi membuat banyak ilmuan sosial menolak secara berlebihan konsep
perbandingan umum dan analisis kausal yang menjadi unsur penting dalam teori
ilmu sosial sejak awal. Dengan tegas, mereka menolak model-model masyarakat
mekanistis, atau “fisika sosial tentang hukum-hukum dan sebab-sebab” dalam
istilah Geertz.
Para penolak ini biasanya mengacu
pada apa yang telah dilakukan Weber. Penelitian Weber yang menekankan pada
tindakan yang bermakna serta menolak paradigma ilmu alam, dalam pendekatannya,
menjadi model teoriantimodernisasi ini. Padahal, Weber sendiri menolak pendapat
bahwa upaya mencari generalisasi kausal adalah salah, atau anggapan bahwa
kausalitas dalam ilmu sosial mereduksi
penelitian ilmu sosial menjadi ilmu alam. Weber percaya, ada hambatan-hambatan
kausal dalam perkembangan masyarakat, tetapi itu semua berlangsung secara
berbeda dari cara kerja alam, sekalipun hal itu berlangsung tanpa sepengetahuan
pelaku, pengaruhnya yang lebih luas tercermin dalam pengetahuan para pelaku
tentang lingkungan mereka (Giddens, 1971, 150).
Weber menekankan bahwa tujuan akhir
dari “pemahaman interpretatif” atas tindakan sosial adalah untuk sampai pada
“penjelasan kausal mengenai berbagai peristiwa beserta akibatnya” (Weber, 1947,
88). “kadang-kadang,” ungkapnya, “suatu telaah menyeluruh semacam itu memaksa
sang analisis untuk keluar dari semua parameter yang berdasarkan penghayatan
atau pengamatan yang disadari.
Sebagai pemahaman interpretatif,
realitas dan tindakan sosial dianggap sebagai “teks” sebagaimana layaknya
kegiatan penafsiran. Teks yang dimaksud berarti apa yang “dikatakan” oleh
tindakan sosial. Pendefinisian teks hanya sebagai apa yang “dikatakan” oleh
tindakan sosial membuat realitas dan tindakan sosial mirip dengan objek ilomu
alam, yaitu adanya distansi antara pengamat yang menentukan penilaian mutlak
terhadap objek pengamatan yang tidak menelusuri lebih dalam terhadap perilaku
sebagai referensi pendukung atas apa yang terkatakan itu. Padahal, suatu
tindakan sosial dapat menimbulkan konsekuensi praktis yang mempengaruhi kondisi
manusia, meskipuntidak disadari oleh para pelakunya. Artinya, pengaitan apa
“yang dilakukan” mempengaruhi pemahaman terhadap realitas sosial ketimbang
hanya bertumpu pada apa yang “dikatakan” sejauh diamati saja.
Untuk lebih memahami realitas
sosial, Hefner, misalnya, mengajukan tambahan terhadap pendekatan
interpretatif, yaitu circumstantial. Arinya, di samping menganalisis segala
perubahan yang tampak , penelitian sosial berupaya juga memperhatikan berbagai
kekuatan yang tidak tampak atau disadari tetapi berpengaruh terhadap perilaku
manusia. Dengan pendekatan ini, penelitian tidak menjadi “hipotesis kausal atau
genetik” sehingga sanggup menyajikan suatu “uraian yang murni deskriptif”.
Pendekatan yang dikemukakan Hefner ini bersifat sosio-genetik, yakni penelaahan
berbagai bentuk dan makna cara hidup suatu masyarakat serta lingkungan yang
mempengaruhi keberadaan dan perubahannya. Dengan pendekatan ini, teori
interpretatif bisa melepaskan diri dari
kecenderungan melepaskan pengamatannya terhadap masalah-masalah kekuasaan,
kepentingan, ekonomi, dan perubahan sejarah yang sedikit banyak mempengaruhi
tindakan sosial sambil terus menjaga penelitian sosial dari kecenderungan
“secara prematur mengabaikan atau mereduksi keberagaman kultural” (Marcus dan
Fischer, 1986, 33).
Penyertaan berbagai kekuatan yang
tidak tampak tetapi berpengaruh pada kehidupan sosial (circumstantial
constrcaint) akan menyelamatkan kecenderungan partikularisme. Kecenderungan
yang memperlakukan “ masyarakat, bahkan desa, seolah-olah sebagai pulau
tersendiridengan sedikit pengertian mngenai sistem hubungan yang lebih luas
dimana satuan-satuan itu berada” (Ortner, 1984, 142). Peneliti ilmu sosial,
dengan demikian , terbebas dari anggapan bahwa pemahaman realitas sosial hanya
perlu memperhatikan makna dunia setempat tanpa kepedulian sejarah atau
lingkungan material.
Suatu pihak menyatakan bahwa agama
bukan kebudayaan, sementara pihak yang lainnya menyatakan bahwa agama adalah
kebudayaan.[12]
Kelompok orang yang tidak setuju dengan pandangan bahwa agama itu kebudayaan
adalah pemikiran bahwa agama itu bukan berasal dari manusia, tetapi datang dari
Tuhan, dan sesuatu yang datang dari Tuhan tentu tidak dapat diseut kebudayaan.
Kemudian, sementara orang yang menyatakan bahwa agama adalah kebudayaan, karena
praktik agama tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan. Memang benar bahwa wahyu
yang menjadi sandaran fundamental agama itu datang dari Tuhan, akan
tetapi realisasinya dalam kehidupan adalah persoalan manusia, dan sesungguhnya
tergantung pada kapasitas diri manusia sendiri, baik dalam hal kesanggupan
“pemikiran intelektual” untuk memahaminya. Maupun kesanggupan dirinya untuk
menjalankannya dalam kehidupan. Menurut pandangan ini realisasi dan aktualisasi
agama sesungguhnya telah memasuki wilayah kebudayaan, sehingga “agama mau tidak
mau menjadi soal kebudayaan”[13].
Para sarjana terutama sarjana Barat
nampaknya melihat agama yang banyak dan beraneka ragam di dunia ini sebagai hal
yang sama dan pada dasarnya sama. Dalam pemikiran mereka menyimpan suatu
perasaan bahwa semua agama itu pada dasarnya adalah sama dan merupakan “fenomena
atau gejala sosial” yang dapat ditemukan pada tiap-tiap kelompok manusia.
Menurut mereka, dalam kehidupan manusia terdapat aspek umum yang bernama agama.
Genus agama itu mengandung “species” yang bermacam-macam, diantaranya
adlah agam Islam.[14]
Sebenarnya, apabila ditarik garis
batas antara agama dan kebudayaan itu adalah “garis batas Tuhan dan manusia”
maka wilayah agama dan wilayah kebudayaan itu pada dasarnya tidak “statis”,
tetapi “dinamis”, sebab tuhan dan manusia berhubungan secara dialogis, dimana
manusia menjadi “khalifah” [wakil]-Nya di bumi. Maka pada tahapan ini,
adakalanya antara “agama” dan “kebudayaan” menempati wilayah sendiri-sendiri,
dan adakalanya keduanya berada dalam wilayah yang sama, yaitu yang disebut
dengan “wilayah kebudayaan agama”.
Agama sesungguhnya untuk manusia,
dan keberadaan agama dalam praktik hidup sepenuhnya berdasar pada kapasitas
diri manusia, bukan sebaliknya manusia untuk agama. Oleh karena itu, agama
untuk manusia, maka agama pada hakekatnya menerima adanya pluralitas dalam
memahami dan menjalankan ajaran-Nya. jika agama untuk manusia; amak agama
sesungguhnya telah memasuki wilayah kebudayaan dan menyejarah menjadi
kebudayaan dan sejarah agama adalah sejarah kebudayaan agama yang menggambarkan dan menerangkan bagaimana terjadi
proses pemikiran, pemahaman dan isi kesadaran manusia tentang wahyu, doktrin
dan ajaran agama, yang kemudian dipraktikkan dalam realitas kehidupan manusia
dan dalam sejarah perkembangan agama itu, sehingga “agama yang menyejarah telah
sepenuhnya menjadi wilayah kebudayaan, karena tanpa menjadi kebudayaan, maka
sesungguhnya sejarah agama-agama itu tidak akan pernah ada dan tidak akan
pernah dituliskan.[15]
Di kalangan sarjana barat, penganjur
kelompok ini adalah Emil Durkheim , seorang sarjana Perancis, yang agaknya ikut
mempengaruhi pemikiran sebagian sarjana indonesia. Salah seorang sarjana
Indonesia Koentjaraningrat, yang menurut pengakuannya sendiri telah terpengaruh
oleh konsep Emil Durkheim. Dengan menggunakan istilah “religia” dan
bukan “agama” [karena menurut beliau lebih netral], Koentjaraningrat
berpendapat bahwa religie merupakan bagian dari kebudayaan. Pendirian
Koentjaraningrat ini di dasarkan kepada konsep Durkheim mengenai dasar-dasar
religi yang mengatakan bahwa tiap-tiap religi merupakan suatu sistem yang
terdiri dari empat komponen yaitu:
a)
Emosi
keagamaan yang menyebabkan manusia menjadi religius.
b)
Sistem
kepercayaan yang mengandung keyakinan serta bayangan-bayangan manusia tentang
sifat-sifat Tuhan, serta tentang wujud dari alam gaib.
c)
Sistem
upacara religius yang bertujuan mencari hubungan manusia dengan Tuhan,
dewa-dewa atau makhluk-makhluk halus yang mendiami alam gaib.
d)
Kelompom-kelompok
religius atau kesatuan-kesatuan sosial yang menganut sistem kepercayaan
tersebut.
Koentjaraningrat, menyimpulkan bahwa
“komponen sistem kepercayaan, sistem upacara dan kelompok-kelompok religius
yang menganut sistem kepercayaan dan menjalankan upacara-upacara religius,
jelas merupakan ciptaan dan hasil akan manusia. Adapun komponen pertama, yaitu
emosi keagamaan, digetarkan oleh cahaya Tuhan. Relegi sebagai suatu sistem
merupakan bagian dari kebudayaan tetapi cahaya Tuhan yang mewarnainya dan
membuatnya keramat tentunya bukan bagian dari kebudayaan.[16]
Pendirian Koentjaraningrat di atas
tercermin dalam teori cultural-universala-nya, dimana beliau memasukkan
religi sebagai isi (bagian) dari kebudayaan yaitu:
a)
Peralatan
dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga,
senjata, alat-alat produksi, alat transport, dan lain sebagainya.
b)
Mata
pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem
produksi, sistem distribusi, dan lain sebagainya.
c)
Sistem
kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem
perkawinan).
d)
Bahasa
(lisan maupun tertulis).
e)
Kesenian
(seni rupa, seni suara, seni gerak, dan lain sebagainya).
f)
Ilmu
pengetahuan.
g)
Relige.
Secara faktual, agama di dunia ini
banyak, beraneka ragam, berbeda-beda dan mempunyai asal usul dan sejarah
sendiri-sendiri. Hal ini merupakan relitas dunia yang tidak dapat dielakkan.
Artinya, semua agama yang ada di dunia ini beraneka ragam, berbeda-beda asal
usul dan sejarahnya, ditinjau dari segi sumbernya dapat dikategorikan menjadi
dua kelompok, pertama, agama alamiyah adalah agama ciptaan atau
hasil karya manusi dinamakan pula agama “filsafat”, agama bumi, dan
agama budaya. Kedua,agama samawiyah yakni agama yang diwahyukan
Allah kepadapara Nabi dan Rasul-Nya. juga disebut “agama wahyu”, agama langit,
dan agama profetis.
Ahmad Abdullah al-Masdoosi,
merumuskan perbedaan antara agama wahyu [agama samawiyah] dengan agama bukan
wahyu [agama budaya] sebagai berikut:
1.
Agama
wahtu berpokok pada konsep “ke-Esaan Tuhan”, sedangkan agama bukan wahtu tidak.
2.
Agama
wahyu beriman kepada Nabi, sedangkan agama bukan wahyu tidak.
3.
Bagi
agama wahyu sumber utama tuntutan dan ukuran baik buruk adalah kitab suci yang
diwahyukan sedangkan agama bukan wahyu kitab suci tidak esensial.
4.
Semua
agama wahyu lahir di Timur Tengah, sedangkan agama bukan wahyu, kecuali “paganisme”,
lahir di luar area tersebut.
5.
Agama
wahyu timbul di daerah-daerah yang secara historisdibawah pengaruh ras semitik
6.
Sesuai
dengan ajaran dan atau historisnya, maka agama wahyua adalah agama missionary.
7.
Ajaran
agama wahyu memberikan arah dan jalan yang lengkap kepada para pemeluknya. Para
pemeluknya berpegang, baik kepada aspek duniawi atau aspek spiritual dari hidup
ini. Agama bukan wahyu tidak demikian.[17]
Klasifikasi agama ke dalam dua jenis
[agama alamiyah dan agama samawiyah] dan ciri-ciri pokok yang membedakannya
secara tajam, dimaksudkan untuk “menghindari generalisasi” dan pencampuradukan
serta penyamarataan semua agama. Dengan demikian, perlu ditegaskan bahwa agama
tidak merupakan genus yang mempunyai species, akan tetapi dengan
klasifikasi dua gejala alamiyah yang disebut agama budaya yang timbul dari
kehidupan manusia sendiri dan agama samawiyah atau wahyu yang diberikan Allah
swt kepada manusia melalui nabi dan rasul-Nya.
Saifuddin Anshari, mengatakan bahwa
“agama samawi dan budaya tidak saling menakup; pada prinsipnya yang satu tidak
merupakan bagian daripada yang lainnya; masing-masing berdiri sendiri. Antara
keduanya tentu saja dapat saling hubungan dengan erat seperti kita saksikan
dalam kehidupan dan penghidupan manusia sehari-hari. Sebagaimana pula
sebaliknya.[18]
Atas dasar itu, perlu ditegaskan
bbahwa agama islam sebagai agama samawi bukan merupakan bagian dari kebudayaan
[Islam], demikian pula sebaliknya kebudayaan Islam bukan merupakan bagian dari
agama Islam. Artinya antara agama dan kebudayaan masing-masing berdiri
sendiri-sendiri, namun di sisi lain terdapat kaitan erat antara keduanya.[19]
Hubungan erat itu adalah Islam
merupakan dasar, asa, pengendali, pemberi arah dan sekaligus merupakan sumber
nilai-nilai budaya dalam pengembangan dan perkembangan cultural. Agama
Islamlah yang menjadi pengawal, pembimbing dan pelestari seluruh rangsangan dan
gerak budaya, sehingga ia menjadi “ kebudayaan yang bercorak dan
beridentitas Islam”.
Begitu pula berhubungan agama Islam
dan kebudayaan islam itu berdiri sendir, artinya ada saling paut dan saling
kait yang erat antara keduanya, maka keduanya dapat dibedakan dengan jelas dan
tegas. Shalat, misalnya adalah unsur ajaran agama, selain berfungsi untuk melestarikan hubungan manusia dengan Tuhan,
juga dapat melestarikan hubungan manusia dengan manusia, dan juga menjadi
pendorong dan penggerak bagi terciptanya kebudayaan. Untuk tempat shalat,
kemudian orang membangun masjid dengan gaya arsitektur yang megah dan indah,
bangunan masjid itulah kebudayaan. Sedangkan, seluruh segi ajaran Islam menjadi
tenaga penggerak bagi penciptaan budaya.[20]
Pandangan G.E Von Grunebaum yang
dalam salah satu pengantar katanya tentang “profil peradaban islam”, mengatakan,
bahwa: “dalam perkembangan selanjutnya, islam berkembang menjadi suatu
peradaban”. Jika diteliti secara seksama pandangan tersebut menagndung
pengertian bahwa pada mulanya Islam itu agama, kemudian dala pertumbuhan
selanjutnya berkembang menjadi peradaban. Faisal Ismail, menyatakan ini tidak
benar! Islam selamanya adalah agama dari sejak diturunkan sampai sekarang dan
sampai hari akhir. Islam tidak pernah berkemang menjadi peradaban atau
kebudayaan dalam masyarakat penganutnya.
Suatu hal yang perlu mendapatkan
penekanan adalah bahwa Islam dan kabudayaan Islam adalah berbeda, artinya
masing-masing berdiri sendiri [agama=wahyu, kebudayaan = produk akal]. Tentu
saja harus adasaling kait antara keduanya agar tetap menjadi kebudayaan islam.
Tetapi lain halnya dengan agama-agama suku [agama alamiyah yang dianut oleh
suku-suku tertentu], perpaduan antara “agama dan kebudayaan” sangat erat
sekali, bahkan sulit dipisahkan, artinya kebudayaan adalah sama dengan agama
(contoh; agama hindu di Bali).[21]
Dalam agama-agama suku,orang
melakukan sesuatu aktivitas, dilakukan dengan “mantra” dan “sajian”.
Oleh karena itu dalam agama-agama suku, kultur/kebudayaan dalam setiap seginya
sangat erat dan dan tidak terpisahkan dengan ibadat [cultus]. Sebagai
contoh, amati kehidupan keagamaan hindu di masyarakat Bali, dimana “antara agama, adat-istiadat, tradisi, seni budaya
sulit dibedakan dan dipisahkan dari ritual agama, karena semuanya lebur dalam
satu kesatuan yang utuh dan padu [terintegrasi]. Upacara peribadatan, tabuhan,
nyanyian, adat-istiadat dan tradisi serta kesenian saling berkait secara utuh.
Upaara-upaara keagamaan disertai dengan sajian, tarian, nyanyian, seni dan
sebagainya, disini dapat dikatakan bahwa kebudayaan sama dengan agama, artinya
agama tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan, karena keduanya menyatu.
Dalam islam, unsur-unsur kebudayaan
“terlarang masuk ke dalam [ajaran] agama”. Misalnya saja, orang dapat
melakukan shalat langsung kepada Allah tanpa disertai media nyanyian, tarian,
saji-sajian, dan unsur-unsur kebudayaan lainnya. Dengan demikian, agama Islam
tetap terpelihara dan terjaga kemurnian dan keasliannya, tidak tercampuri oleh
adanya anasir-anasir kebudayaan yang hendak menyusup dan disusupkan ke dalam
agama ia pasti ditolak dan akan diketahui karena agama Islam dapat dibedakan
dengan hal-hal yang bukan agama.[22]
Manusia,
masyarakat, dan kebudayaan berhubungan secara dialektik. Ketiganya berdampingan
dan berimpit saling menciptakan dan meniadakan. Keberadaan mereka tidak bisa
mandiri tanpa berkaitan dengan yang lainnya, Hubungan manusia, masyarakat, dan
kebudayaan pun berada dalam dialektika gamsut ini. Satu sisi manusia
menciptakan sejumlah nilai bagi masyarakatnya, pada sisi yang lain, secara
bersamaan, manusia secara kodrati senantiasa berhadapan dan berada dalam masyarakatnya,
homosocius. Masyarakat telah ada sebelum seorang individu dilahirkan dan
masih akan ada sesudah individu mati. Lebih dari itu, di dalam masyarakatlah
dan sebagai hasil proses sosial, individu menjadi sebuah pribadi; ia memperoleh
dan berpegang pada suatu identitas. Manusia tidak akan eksis bila terpisah dari
masyarakat.
Suatu pihak menyatakan bahwa agama
bukan kebudayaan, sementara pihak yang lainnya menyatakan bahwa agama adalah
kebudayaan. Kelompok orang yang tidak setuju dengan pandangan bahwa agama itu
kebudayaan adalah pemikiran bahwa agama itu bukan berasal dari manusia, tetapi
datang dari Tuhan, dan sesuatu yang datang dari Tuhan tentu tidak dapat disebut
kebudayaan. Kemudian, sementara orang yang menyatakan bahwa agama adalah
kebudayaan, karena praktik agama tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan. Memang
benar bahwa wahyu yang menjadi sandaran fundamental agama itu datang
dari Tuhan, akan tetapi realisasinya dalam kehidupan adalah persoalan manusia,
dan sesungguhnya tergantung pada kapasitas diri manusia sendiri, baik dalam hal
kesanggupan “pemikiran intelektual” untuk memahaminya. Maupun kesanggupan
dirinya untuk menjalankannya dalam kehidupan.
Alfian.
1981. Politik, kebudayaan, dan Manusia Indonesi. LP3ES. Jakarta.
Al-masdoosi, Ahmad
Abdullah. 1962. Living Religions of the Word: a Socio-political Sudy, English
Renderring by Zavar Ishaq Ansari karachi: Begum Aisha Bawany Wakf.
Anshari,
Endang Saifuddin. 1980. Agama dan Kebudayaan. Surabaya: Bina Ilmu.
Asy’ari,
Musa. 1999. Filsafat Islam Tentang Kebudayaan. LEFSI. Yogyakarta.
Berger, Peter L. 1991. Langit Suci; Agama Sebagai Realitas
Sosial. LP3ES. Jakarta.
Ismail, Faisal.
1998. Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi Historis.
Kahmad,
Dadang. 2006. Sosiologi Agama. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Kleden,
Ignas. Sikap Ilmiah dan Kritik
Kebudayaan. LP3ES. Jakarta.
Kuntjaraningrat.
1964. Pengantar Antropologi.Jakarta: Universitas Djakarta.

Peursen, Cornelis Anthonie A. Van. 1988. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta:
Kanisius.
Piliang, Yasraf Amir. 2000. Hiper
Realitas Kebudayaan. Jakarta.
Soedjatmoko.
1980. Dimensi Manusia Dalam Pembangunan. LP3ES. Jakarta.
Suparlan,
Parsudi. Hak Budaya Komuniti Dalam
Masyarakat Perkotaan. LP3ES.
[1] Peter L.
Berger, Langit Suci; Agama Sebagai Realitas Sosial, LP3ES, Jakarta,
1991, hlm. 4.
[2] Ibid, hlm.
4.
[3] Seorang bayi
sekalipun akan berusaha menarik perhatian orang tuanya, dan menjadikannya
penting dihadapan orang tuanya dan lingkungannya. Hal ini dilakukan, baik
secara sadar maupun tidak.
[4] Ibid, hlm.
4-5.
[5] Lihat Yasraf
Amir Piliang, Hiper Realitas Kebudayaan (dalam rencana penerbitan ),
hlm. 55-56.
[6] Cornelis
Anthonie A. Van Peursen, Strategi Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta,
1988, hlm. 15.
[7]
Kuntjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan, Gramedia,
Jakarta, 1974, hlm. 23, dan Pengantar Antropologi, Penerit Universitas
Djakarta, 1964, hlm.80.
[8] Ignas Kleden, Sikap
Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, LP3ES, Jakarta, hlm. 168.
[9] Parsudi
Suparlan, Hak Budaya Komuniti Dalam Masyarakat Perkotaan, LP3ES.
[10] Alfian ,Politik,
kebudayaan, dan Manusia Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1981, hlm.17.
[11]
Soedjatmoko, Dimensi
Manusia Dalam Pembangunan, LP3ES, Jakarta, 1980, hlm.10.
[12]
Musa Asy’ari,
1999, Filsafat Islam Tentang Kebudayaan, LEFSI, Yogyakarta, hlm. 75.
[13] Ibid. hlm. 75.
[14] Faisal Ismail,
1998, Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi Historis, hlm.34.
[15]
Musa Asy’ari,
1999, hlm.76-77.
[16]
Koentjaraningrat, 1964, Pengantar Antropologi, UI,Jakarta,hlm.79.
[17] Ahmad Abdullah
Al-masdoosi, 1962, Living Religions of the Word: a Socio-political Sudy, English
Renderring by Zavar Ishaq Ansari [karachi: Begum Aisha Bawany Wakf, hlm.11-12.
[18] Endang
Saifuddin Anshari, 1980, Agamadan Kebudayaan, Cet. Ke-1, Bina Ilmu,
Surabaya, hlm.46.
[19] Faisal Ismail,
1998, op.cit., hlm.43.
[20] Ibid, hlm.44.
[21] Faisal Ismail,
1998, op.cit., hlm.46.
[22] Ibid. hlm.47.
Komentar
Posting Komentar