Makalah Sejarah Dakwah di China
DAKWAH ISLAM DI CINA

Di susun oleh: kelompok 8
§ NUR
ASMA
§ UMI
DARSIAH
§ SISKA
PUTRI MAIL
JURUSAN DAKWAH DAN KOMUNIKASI
PROGRAM STUDI BIMBINGAN KONSELING ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
PARE-PARE
Dengan
menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan
puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul Dakwah Islam di Cina.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal
dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar
pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada
semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas
dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ini. Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat.
Parepare, 6 April 2017
Penyusun:
Kelompok 8
Profesor Max Muller (1823 – 1900) [1]pernah
berkata bahwa Islam merupakan salah satu agama dakwah selain agama Budha dan
Kristen. Yang dimaksud dengan agama dakwah di sini adalah agama yang di
dalamnya ada usaha menyebarluaskan kebenaran dan mengajak orang-orang yang
belum mempercayainya dipandang sebagai tugas suci oleh “pendirinya” atau para
pemeluknya. [2]Dalam
kata lain, agama Islam harus dikembangkan dan didakwahkan oleh para pemeluknya.
[3]Semangat
untuk memperjuangkan kebenaran agama inilah yang telah merangsang umat Islam
untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada penduduk di setiap negeri yang
mereka masuki.
Penyebaran Islam pertama ke Asia
Timur dianggap sebagai hasil dari hubungan dagang kuno antara Cina dan Arab
melalui jalur laut. Beberapa sumber lama mengatakan bahwa jauh sebelum Islam
muncul hubungan dagang antara Cina dengan Arab telah ada dan juga melalui jalur
laut. Menurut sumber Arab seperti di dalam kitab al-Tanbih wa al-Isra oleh
Mas’udi, seorang sejarawan Arab, mengemukakan bahwa dahulu kapal-kapal Cina
sering berlayar dan berlabuh pada pelabuhan Siraf yang terletak di Sungai
Eufrat dan pelabuhan lain di teluk Arab sekitar abad ke-5 dan ke-6 M.
Sejarah umat Islam di China dimulai
pada periode Dinasti Tang (618-907 M), di mana orang-orang Arab dan pedagang
Persia datang ke Cina dengan jumlah yang meningkat. Menurut sumber-sumber
sejarah Cina, selama 147 tahun (651-798 M) negara Arab yang dikenal sebagai
“Tashi” mengirim utusan ke Cina lebih dari tiga puluh tujuh kali. [4]
Pada masa Republik Nasionalis Cina, umat Islam mendapatkan
hak-haknya kembali setelah mendapat tekanan politis dari rezim sebelumnya.
Meskipun minoritas, umat Islam pada masa ini dipandang sebagai salah satu unsur
penting dari terbentuknya sebuah Republik Nasionalis Cina yang dipimpin Dr. Sun
Yat Sen. Karena itu, umat Islam berperan aktif dalam kehidupan politik di Cina.
Kondisi ini memberi kesempatan umat Islam di Cina mengembangkan aspek-aspek
budaya, sosial, dan ekonomi.
1.2.1. Bagaimana
kronologi berdirinya Republik Nasional Cina?
1.2.2. Bagaimana
Islam masuk di Cina?
1.2.3. Bagaiman
umat Islam di Cina pada masa republik?
1.2.4. Bagaimana
kehidupan sosial umat Islam di Cina?
1.2.5. Bagaimana
aspek penting Islam di Cina masa
Republik nasionalis?
1.3.1. Untuk
mendeskripsikan kronologi berdirinya Republik Nasional Cina.
1.3.2. Untuk
mendeskripsikan proses masuknya Islam di Cina.
1.3.3. Untuk
mendeskripsikan umat Islam di Cina pada masa republik.
1.3.4. Untuk
mendeskripsikan kehidupan sosial umat Islam di Cina.
1.3.5. Untuk
mendeskripsikan aspek penting Islam di Cina
masa Republik nasionalis
Secara kronologis, meletusnya
Revolusi Cina dimulai pada saat Cina masih berperang melawan Jepang (1894-1895
M). Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Dr. Sun Yat Set mengadakan gerakan untuk
merebut Canton dan dijadikan pusat revolusi. Sayangnya, usaha ini tidak
berhasil. Selanjutnya, ketika pemberontakan Boxer sedang berlagsung, Dr. Sun
Yat Sen dan kaum revolusioner kembali menggunakan kesempatan ini untuk
memberontak, tetapi lagi-lagi usaha ini belum juga berhasil. Kemudian pada 27
April 1911 M, pemberontakan dari kaum revolusioner kembali terjadi dengan
dipimpin oleh Huang Hsing dan anggota Tung Meng Hui, dan sekali lagi usaha ini
tidak berhasil. Meskipun demikian, hal ini tidak menyurutkan semangat mereka
untuk terus berjuang dalam menggulingkan pemerintahan Dinasti Manchu.
Pada 9 Oktober 1911, kaum
revolusioner harus merasakan kepahitan, karena salah satu gudang rahasia milik
anggota Tung Meng Hui di provinsi Hupeh meledak akibat dibom oleh tentara
Manchu. Banyak dokumen rahasia dirampas dan prajurit ditangkap. Keesokan
harinya yakni pada 10 Oktober 1911 M. terjadi pertempuran hebat saat merebut
Kota Whucang (selanjutnya dikenal dengan nama Whucang Day, Double Ten
Nineteen Eleven). Dua hari kemudian 12 Oktober 1911 M, hampir seluruh
provinsi yang berada dalam kekuasaan Dinasti Manchu berhasil direbut oleh
pasukan revolusioner. Dari 18 provinsi hanya dua yang masih bisa dipertahankan
oleh Dinasti Manchu, yakni provinsi Honan dan Chihli. Pada 11 November 1911 M,
pasukan revolusioner menuntut kaisar terakhir Dinasti Manchu, yakni Yuan Shi
Kai, untuk turun tahta. Hingga pada akhirnya pertempuran berakhir dengan
kemenangan berada di tangan kaum revolusioner. Akhirnya, pada 29 Desember 1911
M, kaum revolusioner mengangkat Dr. Sun Yat Sen sebagai presiden pemerintah
pertama dari Republik Cina.[5]
Setelah berhasil memimpin Revolusi
Cina, selanjutnya ia berniat untuk merealisasikan cita-citanya yang dikenal
dengan San Min Chu I (Tiga Asas Rakyat). Tiga Asas Rakyat tesebut adalah
sebagai berikut. Pertama, Min Tsen yang berarti nasionalisme. Asas yang
pertama dimaksudkan bahwa ia menghendaki adanya satu bangsa dan satu negara
yakni bangsa Cina sebagai satu kesatuan. Kedua, Min Chu (demokrasi), artinya
adalah bahwa kedaulatan tertinggi dalam suatu negara berada di tangan rakyat.
Ia menginginkan pemerintahan Cina dalam bentuk wajah yang baru yakni, republik
yang demokratis. Asas yang ketiga adalah Min Sheng yang berarti
sosialisme. Di sini Dr. Sun Yat Sen mencenderungi bahwa sosialisme adalah asas
kehidupan bangsa Cina. Ia berharap seluruh rakyat Cina dapat mencari nafkah
serba layak guna memenuhi kehidupan yang sejahtera dan layak[6].
Namun, Dr. Sun Yat Sen tidak lama memegang jabatan sebagai presiden pertama
negara Cina. Dalam waktu lebih kurang tiga bulan masa kepemimpinannya,
selanjutnya jabatan tersebut ia serahkan kepada Jenderal Yuan Shi Kai.[7]
Yuan Shi Kai mengangkat dirinya
sebagai presiden Cina seumur hidup, sedangkan Dr. Sun Yat Set mengudurkan diri
ke Canton dan mendirikan Partai Kwomintang (Nasionalis). Dalam Partai
Kwomintang yang didirikannya, ada dua pokok yang ia tegaskan, yakni pertama
Partai Kwomintang harus menjadi satu kesatuan dan kekuatan yang kokoh, dan
kedua kekuasaan dan kekuatan dari Partai Kwomintang ini selajutnya dipergunakan
untuk membangun negara.[8]
Yuan Shi Kai sendiri berkuasa antara
1911-1916 M. Yuan Shi Kai memiliki ambisi pribadi untuk menguasai seluruh Cina
sepenuhnya. Ia berasumsi bahwa ideologi republik akan bertahan lama daripada
ambisi pribadi. Ia lalu meninggalkan republik dan menggantinya dengan
Kekaisaran Cina. Yuan Shi Kai mengangkat dirinya sebagai sang kaisar. Akibat
ulahnya tersebut, sebagian besar provinsi di Cina selatan melepaskan diri dari
kekuasaan pemerintahan Beijing. Setelah mengumumkan dirinya sebagai kaisar
Cina, terjadi revolusi terbuka yang dilancarkan di berbagai provinsi Cina.
Provinsi Yunan adalah provinsi pertama yang melancarkan revolusinya terhadap
Yuan Shi Kai, kemudian barulah diikuti oleh provinsi-provinsi lainnya.[9]
Pada tahun 1916 M, Yuan Shi Kai
menutup usianya dengan meninggalkan kekacauan dan kesimpangsiuran
perundang-undangan dan angkatan bersenjata Tentara Cina Utara. Hal tersebut
dikarenakan ia belum menunjuk seseorang untuk menggantikan kedudukannya. Era
1916-1928 M dikenal sebagai periode Warlordsisme yang berarti periode
“jenderal perang”. Selama periode ini para warlords saling berperang
untuk memperoleh pengaruh kekuasaan di Cina.[10]
Di wilayah Cina selatan Sun Yat Sen
masih memiliki pengaruh yang besar. Ia diangkat sebagai kepala pergerakan
revolusi dan menduduki jabatan sebagai presiden sampai tahun 1925 M. Dr. Sun
Yat Sen meninggal dunia pada 12 Maret 1925 M. Cita-cintanya untuk mempersatukan
Cina dalam satu pemerintahan yang demokratis belum juga tercapai. Untuk
meneruskan perjuangan tersebut, maka diangkatlah Chiang Kai Shek sebagai
pemimpin baru di Partai Kwomintang pada 13 Mei 1925 M.
Chiang Kai Shek adalah penggagas
sekaligus ketua Akademi Militer Whampoa yang resmi dibuka pada Mei 1924 M.
Setelah resmi menjabat sebagai ketua partai, Chiang Kai Shek segera membentuk
Tentara Revolusi Nasional yang anggotanya direkrut dari kelompok inti Akademi
Militer Whampoa. Sebagai penerus cita-cita dari Dr. Sun Yat Sen, Chiang Kai
Shek sangat bersungguh-sungguh dalam usaha mewujudkan cita-cita tersebut. Hal
ini ia buktikan pada awal kekuasaannya, di mana ia telah berhasil membangun
angkatan perang Cina yang kuat.[11]
Selama pemerintahannya, pada tahun
1928 M Chiang Kai Shek bekerja sama dengan Partai Komunis Cina (selanjutnya
disingkat PKC) berhasil menaklukan para warlords, dan selanjutnya
menyatukan seluruh Cina di bawah pemerintahan Kwomintang melalui Ekspedisi
Utara pada 1926-1928 M. [12]Pada
awalnya ada persatuan yang erat dalam kerjasama antara Partai Kwomintang
(Nasionalis) dengan Partai Komunis (PKC). Berkat kerjasama dan persatuan yang
erat tersebut, Chiang Kai Shek berhasil mengalahkan para warlords dan
berhasil merebut Shanghai dan Nangking. Kemudian, dalam waktu lebih kurang dua
tahun, Chang Kai Shek berhasil menghancurkan jenderal-jenderal utara dan dapat
merebut Kota Peking.[13]
Persatuan yang erat tersebut tidak berlangsung lama, karena pada
1927 M terjadi perselisihan di antara Partai Nasionalis Cina dan PKC. Kaum
komunis menginginkan adanya pembagian wilayah kepada petani di daerah-daerah
yang telah direbut, tetapi Chiang Kai Shek tidak menginginkan hal tersebut.
Untuk mencegah terjadinya perpecahan, maka diadakan pertemuan antara wakil dari
masing partai. Dalam pertemuan itu tidak ditemukan kata sepakat. Mereka saling
mencurigai dan menuduh bahwa masing-masing pihak berkeinginan untuk memperkuat
kedudukan mereka dan mencari keuntungan sendiri. Karena tidak ada kesepakatan
bersama, mulailah terjadi ketegangan dalam hubungan mereka.[14]
Jumlah Muslim Cina pada abad ke-19
tidak diketahui secara pasti. Baik pada masa pemerintahan kekaisaran sebelum
1911 maupun pemerintah Nasioanlis sesudahnya tidak ada yang melakukan sensus
untuk menentukan jumlah yang pasti dari kaum Muslimin di Cina. Angka-angka yang
diberikan oleh pemerintahan Komunis Republik Rakyat Cina tidak dapat dipercaya
karena tidak memberikan data yang benar. [15]Diperkirakan
antara lima sampai enam juta penduduk Muslim Cina pada masa itu. Yang pasti jumlah
mereka menurun sepanjang abad itu karena peperangan dan penganiayaan yang
terus-menerus dari Dinasti Manchu. Banyak saksi yang dinyatakan oleh beberapa
orang Eropa yang menyebutkan adanya sejumlah besar masjid dan sekolah di
desa-desa dan kota-kota yang di luar proporsi dengan jumlah Muslim sebagaimana
juga fakta bahwa seluruh wilayah Khansu dan Yunnan dikosongkan dari penduduk
Muslimnya.[16]
Meskipun demikian, ada beberapa
usaha yang dilakukan, baik oleh kaum Muslimin maupun bukan, yang sampai pada
perkiraan yang mendekati keadaan yang sebenarnya. Namun, perkiraan ini selalu
berubah-ubah yang disebabkan oleh tiga faktor, yaitu: [1] teknik yang
dipergunakan, [2] sikap pro dan kontra terhadap kaum Muslimin, dan [3]
fluktuasi jumlah umat Islam yang disebabkan oleh peperangan pada masa-masa
sebelumnya.[17]
Pencacahan penduduk baru dilakukan
pada 1936. Berdasarkan statistik penduduk 1936 itu, jumlah pemeluk Islam di
Cina pada masa republik diperkirakan 48.104.240 orang. Berikut ini referensi
tentang jumlah umat Islam pada masa sebelum Revolusi Komunis di Cina. Ada
sejumlah 48.104.240 orang pemeluk Islam dan ada 42.371 masjid, sebagian besar
di Sinkiang, Chinghai, Manchuria, Kansu, Yunnan, Shensi, Hopei, dan Honan.19
Pada dekade pertama abad ke-20, diperkirakan bahwa ada 20 juta Muslim di Cina,
termasuk daerah Mongolia dan Xinjiang. Dari jumlah tersebut, hampir setengah
tinggal di Kansu, lebih dari sepertiga di Shaanxi, dan sisanya di Yunnan.[18]
Namun, berdasarkan data yang
dikeluarkan oleh The Guardian per Januari 2011 bahwa jumlah populasi
Muslim di Cina pada 2010 sekitar 23.308.000 jiwa atau sekitar 1,8% dari jumlah
penduduk Cina. Sementara itu, jumlah umat Islam di Jepang sekitar 185.000 atau
0,1% dari jumlah penduduk, dan umat Islam di Korea Selatan –pada tahun yang
sama sekitar 75.000 atau 2,0% dari jumlah penduduk, dan umat Islam di Korea
Utara sekitar 3.000 orang atau <1.0 dari jumlah penduduk. [19]
Di Cina sendiri kelompok terbesar
saat ini menyebut dirinya sebagai orang-orang Hui, dan mereka diakui oleh
pemerintah sebagai minoritas terbesar ketiga. Mungkin mereka mewakili lebih
banyak kelompok Muslim lain di Cina saat ini, perpaduan yang menarik budaya,
agama, dan tradisi sejarah Cina. [20]Paling
tidak ada sepuluh etnis Muslim di Cina yang secara kultural keagamaan hidup
sebagai minoritas. Kesepuluh etnis itu adalah: Uyghur, Hui, Kazakh, Tatar,
Uzbek, Khirghis, Dongxiang, Tajik, Salar, dan Bonan (Bao’an). Di antara
kesepuluh etnis ini, yang paling besar populasinya adalah Uyghur dan Hui.
Dibandingkan dengan etnis-etnis lainnya, etnis Hui adalah etnis
yang banyak berasimilasi dengan etnis Han –sebagai etnis mayoritas di Cina.
Cara berpakaian dan bahasa yang digunakan oleh etnis Hui sama dengan etnis Han.
Hal ini berbeda dengan etnis Muslim lainnya, seperti etnis Uyghur misalnya,
yang tetap mempertahankan kebudayaan asalnya. Orang-orang Uyghur tetap
menggunakan pakaian a la Turki dan berbahasa Turki sebagaimana mereka
berasal. Keberhasilan etnis Hui dalam berasimilasi dengan etnis Han tersebut
menjadikan etnis Hui jarang mendapat perlakuan diskriminatif dari pemerintah
Cina.
Muslim di Cina dapat dibagi ke dalam
tiga kelompok kebangsaan utama, yakni Turki yang terdiri dari orang-orang
Uyghur, Kazakh, Kirghiz, Uzbek, dan orang Muslim di antara bangsa Salar dan
Hichu. Uyghur sendiri merupakan kelompok inti penduduk muslim di Turkestan
Timur. Orang-orang non-muslim sering menyebut mereka dengan sebutan Hui
Hui, [21]sedangkan
Tajik adalah sebutan bagi muslim lain yang berbahasa Persi. Selain itu,
orang-orang Lolo, Mongol, Sihia, Tao dan Tibet juga bagian dari minoritas
muslim di Cina. [22]Sebetulnya,
orang-orang Islam Cina menyebut diri mereka Chew-min, sedangkan agamanya
disebut Tsing Ching Chew yang berarti “agama yang suci.[23]
Revolusi Cina telah berusaha
mempertemukan berbagai golongan bangsa dan membentuk persatuan di antara
mereka. Kebudayaan orang Han sendiri telah mengakar di daerah yang didiami kaum
muslim, sehingga mereka tidak dapat menolak pengaruhnya. Namun, dalam hal
perkawinan, makanan, nilai moral dan sosial tetap pada ketetapan agama Islam.
Tidak ada perkawinan campuran antara orang muslim dengan non-muslim, bahkan
jika seorang laki-laki Muslim ingin menikahi wanita pribumi, upacara pernikahan
tidak akan terlaksana apabila wanita tersebut tidak meninggalkan keyakinannya
dan masuk agama Islam. Sebelum agama Nasrani berkembang di Cina, ada dua
istilah yang biasa dipakai dalam percakapan sehari-hari. Pertama Da-chew adalah
istilah yang digunakan untuk agama dalam arti umum, dan kedua Kay-chew atau
Shew-min digunakan untuk agama tertentu, yang dimaksud agama lain di
sini adalah agama Islam. Istilah Da-chew sendiri meliputi agama
Budhisme, Lamaisme, dan Taoisme.[24]
Pemerintahan Dinasti Manchu telah
menyebabkan keterbelakangan banyak hal bagi kaum Muslim di Cina. Akan tetapi,
keterbelakangan ini tidaklah dialami oleh orang muslim secara merata. Ada
daerah-daerah di mana kaum muslim yang meskipun tinggal di pedalaman, bahkan
terpencil dan jauh dari provinsi Xinjiang, tetapi mereka hidup dalam
kemamkuran. Melihat keterbelakangan ini, pemerintah Nasionalis melakukan
usaha-usaha untuk mengatasi hal tersebut untuk memperbaiki kehidupan mereka.
Secara umum, sebenarnya mereka tidaklah ketinggalan dari masyarakat lainnya
dalam lapangan isndustri kerajinan. Mereka menempati posisi yang tinggi dalam
perdagangan dan perniagaan, begitu juga dalam hal petanian dan peternakan lebih
baik dari yang pada yang lain.
Orang-orang muslim di Cina cenderung
hidup bersama tetapi terpisah dari penduduk yang berbeda agama, baik itu di
kota-kota besar maupun di desa-desa yang banyak dihuni oleh orang-orang muslim.
Meskipin demikian, mereka sangat menjaga sikap agar tidak pamer dan hal-hal
yang dapat menyinggung perasaan keagamaan tetangganyaa. [25]Mereka
membuat kampung-kampung khusus orang muslim dan untuk orang-orang Han, tempat
tinggal atau rumah-rumah orang muslim sangat muda dikenal karena berbeda dengan
orang-orang non-muslim.[26]
Di dalam kehidupan sehari-sehari,
orang-orang muslim di Cina sepenuhnya menggunakan kebiasaan dan cara-cara
penduduk setempat, seperti rambut panjang yang dikuncir. Sebenarnya tradisi itu
telah lama ada, yakni selama pemerintahan Dinasti Manchu, namun mereka masih
menggunakan kebiasaan tersebut karena telah tebiasa. Untuk sorban mereka hanya memakai
saat pergi ke masjid, sementara dalam hal berpakaian mereka juga sama dengan
orang Cina pada umumnya.[27]
Namun, beberapa kabilah seperti
orang-orang Uyghur dari Sinkiang (Xinjiang) dan orang-orang Kazakh dari daerah
barat laut Cina, mereka berbeda dari orang-orang Cina. Di barat laut para
wanita muslim memakai tutu muka atau cadar apabila mereka hendak keluar rumah,
dan di beberapa provinsi lainnya para wanita memakai sorban, sedangkan para
lelaki memakai tutup kepala yang berwarna putih dan lebar. Di wilayah Xinjiang,
muslim laki-laki memakai tutup kepala kecil yang berwarna-warni dan bersulam,
ada juga yang memakai memakai sorban dari bahan katun putih dan kuning,
sementara di provinsi-provinsi lainnya muslim laki-laki memekai kufiah (peci)
berwarna putih jika hendak menunaikan ibadah shalat Jum’at. Pemakaian sutera
hanya diperuntukan bagi perempuan muslim saja, para laki-laki terutama
pemuka-pemuka agama.
Dalam hal makanan, orang-orang
muslim sangat berhati-hati, alasan kesehatan dan agar tingkah laku yang baik,
mereka tidak memakan daging babi, bangkai, darah, hewan persembahan, dan
hewan-hewan yang diharamkan dalam Islam. seperti orang Cina yang bukan muslim.
Selain itu, mereka juga dilarang merokok, meminum arak, dan menghisap candu
(opium). Mereka membangun restoran-restoran yang dapat dipastikan tidak
terdapat masakan yang berbahan daging babi. Arak masih saja tersedia untuk
mereka yang berkunjung bukan dari kalangan orang muslim. akan tetapi mereka
memisahkan cangkir-cangkir yang digunakan dan disimpan terpisah. Mereka juga
memiliki kedai, toko roti, parfum yang tidak mengandung alkohol, obata-obatan,
dan minyak yang berasal dari tumbuh-tumbuhan untuk menggoreng. [28]Orang-orang
muslim dikenal sebagai orang yang ulet dan sukses dalam bidang perekonomian dan
perdagangan, mereka kembali membangun kejayaan mereka dalam hal perdagangan.
Mereka memegang monopoli dalam hal perdagangan sapi dan lain sebagainnya.[29]
Sempat terputusnya hubungan orang-orang muslim dengan dunia luar,
khususnya dunia Islam dalam waktu yang lama, secara tidak sadar telah membuat
mereka sedikit dipegaruhi oleh Konfusianisme dan Budhisme dalam beberapa hal.
Seperti dalam penyebutan untuk tempat ibadah, Syih yang artinya masjid,
kata Syih sendiri berasal dari agama Budha untuk menyebut Kuil.
Masjid-masjid yang ada di Cina persis seperti Kui Kong Hu Chu atau Budha jika
dilihat dari luar, karena pada masa kekaisaran tidak diperbolehkan membangun
banguan yang berbentuk asing. Sempat terputusnya hubungan orang-orang muslim
dengan dunia luar, khususnya dunia Islam dalam waktu yang lama, secara tidak
sadar telah membuat mereka sedikit dipegaruhi oleh Konfusianisme dan Budhisme
dalam beberapa hal. Seperti dalam penyebutan untuk tempat ibadah, Syih yang
artinya masjid, kata Syih sendiri berasal dari agama Budha untuk
menyebut Kuil. Masjid-masjid yang ada di Cina persis seperti Kui Kong Hu Chu
atau Budha jika dilihat dari luar, karena pada masa kekaisaran tidak
diperbolehkan membangun banguan yang berbentuk asing.
Setelah kembali mendapatkan
kebebasan dan memperoleh hak-hak untuk ikut duduk di kursi pemerintahan
Republik. Umat Islam di Cina mengalami perkembangan yang cukup pesat. Mereka
kembali membangun posisi dan kedudukan mereka yang sempat mengalami stagnasi
selama pemerintahan Manchu. Pada masa Republik Nasionalis Cina, Islam mengalami
perkebangan di berbagai bidang, baik itu di bidang budaya, perekonomian,
pendidikan, sosial, politik dan lain sebagainya.
[1] Pendidikan Islam. Sistem
pendidikan Muslim di Cina pada umumnya sama dengan yang terjadi di
negeri-negeri Muslim lainnya. Pendidikan keagamaan yang biasa dilakukan di
masjid-masjid dengan sistem halaqah, tetapi tidak pernah melampaui
batas-batas halaman masjid. [30]Di
Cina, sistem ini disebut dengan Jingtang Jiaoyu. Ini adalah sistem
pendidikan Islam yang dikembangkan
selama dinasti Ming antara Hui,
berpusat di sekitar Masjid. Bahasa Arab dan Persia adalah bagian dari kurikulum
utama. Dalam madrasah, beberapa literatur Cina Muslim seperti Kitab Han digunakan
untuk tujuan pendidikan. Liu Zhi (ulama) menulis teks untuk membantu
orang-orang Islam Cina belajar bahasa Arab. Kamus Arab-Tionghoa (Arab-Chinese
Dictionary) adalah kamus pertama yang disusun oleh seorang terpelajar yang
bernama Shaik Elias Wong Ching Chai pada tahun 1925, dan terbit di Tientsin.
Selain menyusun kamus, ia juga menyalin kitab Alqur’an dari bahasa Arab ke
dalam bahasa Cina. [31]Persia
adalah bahasa asing Islam utama yang digunakan oleh Muslim Cina, diikuti oleh
Arab. Beberapa jenderal Muslim, seperti Ma Fuxiang, Ma Hongkui, dan Ma Bufang
ikut mendanai sekolah atau siswa menjadi sponsor untuk belajar di luar negeri. Imam
Hu Songshan dan Ma Linyi terlibat dalam reformasi pendidikan Islam di Cina.
Pada perkembangan selanjutnya,
sistem pendidikan yang sederhana tersebut perlahan-lahan mulai berubah menjadi
perguruan yang bersifat modern. Revisi dilakukan dalam buku-buku yang berkaitan
dengan Islam, sistem pengajaran yang modern mulai diperkenalkan di perguruan
yang bersifat swasta. Untuk biayanya mereka menggunakan biaya sendiri yang
bersumber dari pihak muslim tanpa bantuan pemerintah. [32]Di
antara tokoh-tokoh yang berperan dalam bidang pendidikan Islam di Cina pada
masa ini adalah Muhammad Ma Jian, atau Muhammad Makin (1906 – 1978) yang
merupakan seorang sarjana Islam Cina dan penerjemah dari Provinsi Yunnan di
Cina Baratdaya.
Sejumlah besar perguruan–perguruan
Islam didirikan di dalam daerah yang banyak dihuni oleh orang-orang Islam.
Begitu juga dengan sekolah-sekolah lanjutan, seperti Now West College yang
berdiri di Peking, Ming Teh Secondary School di Provinsi Yunnan, di Kang
Chow (Hankow) ada Mu Sing Secondary School. Kemudian di Chinghai berdiri
Kun Loon Middle School, dan Cheng Ta Islamic Normal School di
Tsianan dan Peking. Bahkan, Kang Chow (di Provinsi Kansu) merupakan mercu suar
utama dalam pengkajian Islam sampai dengan 1928. Dalam tahun itu serangan Fang
Yu Hiang menimbulkan banyak kerusakan dan kerugian di kalangan umat Islam dan
pusat kajian Islam pindah ke Peking.
Pendirian college di Peking
tidak bisa dilepaskan dengan peran Jenderal Ma Fo Hiang yang beragama Islam.
Atas usahanya, dia memperoleh bantuan dari pemerintah di Peking untuk keperluan
pendidikan. Jenderal itu telah membangun sekitar 12 rumah di sekitar masjid
untuk tujuan-tujuan pendidikan. Karena itu, ketika ada pemindahan college dari
Tsinan ke Peking, Ma Fo Hiang menyambutnya dengan gembira. Bahkan, biaya
bulanan di college ini juga ditanggung oleh keluarga Sang Jenderal dan
beberapa orang Islam yang mampu. Menurut laporan Badruddin Chini (1935), bahwa
selama tujuh tahun berdirinya, lembaga pendidikan tersebut memperoleh banyak
kemajuan. Sistem pendidikan di college ini terbagi ke dalam tiga
kelompok, yaitu: remaja (junior), madya (senior), dan kelompok umum.[33]
[2] Media Massa. Untuk membantu
memajukan kebudayaan, umat Islam di Cina memanfaatkan media massa sebagai
sarana penyebaran dakwah Islam dan menyampaikan Islam melalui tulisan-tulisan.
Baik itu dalam surat kabar, majalah, jurnal, dan lain sebagainya. Orang-orang
muslim mulai memproduksi surat kabar dan majalah-majalah yang bertemakan berita
Islam. Sebelum Perang Sino-Jepang 1937, di sana ada lebih dari seratus majalah
Muslim terkenal. Tiga puluh jurnal yang diterbitkan antara tahun 1911 dan 1937.
Dalam waktu lebih kurang tiga puluh tahun lebih, yaitu antara saat berdirinya
republik sampai pada perang Cina-Jepang, umat Islam berusaha sekuat tenaga
untuk memajukan kebudayaan mereka melalui penerbitan majalah-majalah setempat
yang bersifat agama dan politik. Majalah-majalah tersebut di antaranya adalah, Majalah
Study Islam Cina, Surat Kabar Islam, Majalah Sinar Islam, Matahari Terbit,
Pemuda Muslim, Al-Islah, Kemanusiaan, Majalah Che, Majalah Bang Tou,
Batas-batas, Al-Awqaf dan lain sebagainya. [34]
Tulisan-tulisan berkala yang isinya sangat bermutu di antaranya adalah The
Crescent (Bulan Sabit) dan The Light of the Crescent (Sinar Bulan
Sabit) yang terbit di Peking, dan The Islamic Review (Tinjauan Islam)
yang terbit di Shanghai.[35]
Terbitan lainnya adalah Islamic
Journal (Berkala Islam) yang terbit di Yunnan pada 1911, Islamic
Literature (Kesusteraan Islam) di Peking, keduanya terbit dalam bahasa
Cina. Selanjutnya, ada Domestic Education (Pendidikan Rumah Tangga)
terbit di Kanton pada 1912, The Journal of the Muslim Youth (Majalah Pemuda
Muslimin) dan The Islamic Community (Masyarakat Islam). Majalah-majalah
tersebut sangat penting bagi masyarakat Islam di Cina. Tema dari majalah yang
diterbitkan berisi tentang gagasan keagamaan, dan untuk pembiayaannya diperoleh
dari para dermawan Muslim. Selain judul-judul yang tersebut di atas, semakin
lama semakin banyak majalah dan tulisan yang terbit di Cina setelah itu.[36]
[3] Organisasi Massa. Pertumbuhan
organisasi-organisasi muslim juga ikut serta mewarnai perkembangan Islam di
Cina. Untuk merangkul dan memajukan umat Islam di Cina, beberapa organisasi
didirikan. Pada tahun 1912, Federasi Muslim Cina dibentuk di ibukota Nanjing.
Organisasi yang sama dibentuk di Beijing (1912), Shanghai (1925) dan Jinan
(1934). Mereka juga telah membentuk organisasi Muslim Progressive
Association (Perhimpuna Muslim Progresif), yang didirikan di Beijing (1912)
dengan diketuai oleh Al-Haj Ahound Wang Haonan. Sepuluh tahun sebelumnya, ia
pernah berkunjung ke Turki dan sepulangnya dari sana ia mendirikan perguruan Islam
yang pertama-tama mengajarkan sastra Cina di samping mata pelajaran tentang
Islam. Dengan demikian, aktivitas dari organisasi ini terpusat pada penyebaran
pendidikan Islam, pengajaran bahasa Arab, pembangunan sekolah dan masjid.[37]
[4] Penerjemahan Kitab Suci Alqur’an
dan Litertur Islam. Dalam hal ini perlu disebutkan tentang upaya penerjemahan Alqur’an
ke dalam bahasa Cina dan historiografi. Dalam kaitannya dengan penerjemahan
Alqur’an, kitab suci ini baru diterjemahkan ke dalam bahasa Cina pada abad ke-20.
Ying Ma melaporkan bahwa sebelum 1925, penyalinan Kitab Suci Alqur’an secara
lengkap ke dalam bahasa Cina belum ada. Muslim Cina itu hanya mencetak Alqur’an
dengan huruf Arab dengan menggunakan huruf cetak yang diimpor dari Mesir.
Meskipun demikian, upaya penyalinan bagian demi bagian yang dilakukan oleh
Shaik Liu Che telah diupayakan sebelum abad ke-20 walaupun tidak selesai. Upaya
penyalinan yang kedua kali dilakukan belakangan oleh Shaik Ma Fu Chu, tetapi
hanya sampai 20 juz, sebelum dia wafat. Asosiasi Kebudayaan Islam (Muslim
Cultural Association) juga sempat menerbitkan salinan lima juz di Shanghai,
tetapi naskah selanjutnya hilang ketika Jepang menyerang daerah itu.
Usaha penerjemahan Alqur’an komplit
baru dilakukan pada 1927. Uniknya, penerjemahan ini dilakukan oleh seorang
berkebangsaan Jepang dan bukan beragama Islam. Lee Tei Ching –nama orang itu-
menerjemahkan Alqur’an Alqur’an dari bahasa Jepang, berdasarkan salinan Rodwell
di Inggris, ke dalam bahasa Cina. Terjemahan Alqur’an ini diterbitkan di Cina
Press, Tientsen pada 1927.[38]
5] Bahasa Arab dan Kesenian. Meskipun
dipelajari di lembaga-lembaga pendidikan Islam sejak dini, tetapi ini hanya
untuk kepentingan agar seseorang membaca Alqur’an dan beberapa kitab berbahasa
Arab. Namun, sebagaimana di Indonesia, bahasa Arab tidak digunakan dalam
kehidupan umum di Cina. Kamus bahasa Arab-Cina pertama kali disusun oleh Shaik
Elias Wong Ching Chai dan diterbitkan pada 1925 di Tientsin.[39]
Akhir dinasti Qing (Manchu) juga
ditandai dengan peningkatan interaksi Sino-asing. Hal ini menyebabkan
peningkatan kontak antara minoritas Muslim di Cina dan negara-negara Islam di
Timur Tengah. Pada tahun 1939, setidaknya 33 Muslim Hui pernah belajar di Kairo
Al-Azhar. Kondisi ini ikut membantu perkembangan bahasa Arab di Cina. Adanya
gelombang modernisasi dan gerakan kebudayaan modern di Cina menuntut
kolompok-kelompok masyarakat terdidik untuk melakukan gerakan modernisasi
sistem pendidikan Islam di Cina.
Penganiayaan pemerintahan Dinasti
Manchu yang berlangsung lebih kurang selama hampir tiga abad lamanya telah
menyebabkan kondisi orang Muslim menjadi miskin. Tidak hanya itu, jumlah
merekapun berkurang karena sempat terputusnya hubungan dengan dunia Muslim
lainnya atau di luar Cina. Pada tahun 1911 M, tepatnya setelah Republik
Nasionalis Cina resmi diproklamasikan, orang-orang Muslim di Cina membangun
kembali kontak-kontak dengan dunia Muslim di luar Cina. Melakukan upaya
perbaikan pendidikan dan pembentukan organisasi guna memperkuat keberadaan
mereka.[40]
Meskipun demikian, kesetiaan mereka
terhadap agama Islam tetap kuat, hanya saja pengamalan agamanya memerlukan
banyak peningkatan dan perbaikan. Mengingat telah terjadi pengadopsian
kebudayaan Cina oleh orang-orang Muslim pada masa Dinasti Ming. Namun, hal
tersebut tidak melampaui pada hal-hal yang telah diharamkan dan dilarang dalam
agama Islam. Seperti halnya dalam hal makanan, mereka tetap tidak mengkonsumsi
babi, meminum arak, dan hal-hal lainnya yang dilarang dalam agama Islam.
Arnold,
Thomas Walker. 1985. Sejarah Dakwah Islam, terj. A. Nawawi Rambe.
Jakarta: Widjaya.
Ergenc,
Ceren. 2005. “Chinese Nation-Building And Sun Yat Sen: A Study on 1911
Revolution in China”, Tesis. Ankara: The Graduate School of Sosial
Sciences, Middle East Technical University.
Ferm,
Vergilius (ed.). 1976. An Encyclopedia of Religion. Westport, C.T.:
Greenword Press.
Gladney,
Dru C. 1976. "Central Asia and Cina", in The Oxford History of
Islam, edited by John L. Esposito. Tulisan ini dapat diakses melalui Oxford
Islamic Studies Online, http://www.oxfordislamicstudies.com/article/book/islam- Ferm, Vergilius
(ed.). An Encyclopedia of Religion. Westport, C.T.: Greenword Press.
https://en.wikipedia.org/wiki/Islam_in_Cina_(1911%E2%80%93present).
Kong Dejun
and Ma Liangyue, “The History of the Arabic Language in the People’s Republic
of China”, Interdisciplinary Journal of Contemporary Research in Bussiness, Volume
5, No. 7 November 2013, 222.
Leo Agung
S. Sejarah Asia Timur 1. Yogyakarta: Ombak, 2012.
----------.
Sejarah Asia Timur 2. Yogyakarta: Ombak, 2012.
Ma, Ibrahim Tien Ying. Perkembangan
Islam di Tiongkok, terj. Joesoef Sou’yb. Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
M. Ali Kettani. Minoritas Muslim di
Dunia Deawasa Ini, terj. Zarkowi Soejoeti. Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2005.
M. Rafiq Khan, Islam di Tiongkok, terj.
Sulaimansjah. Jakarta: Tintamas, 1967.
Ririn Darini. Garis Besar Sejarah
Cina Era Mao. Yogyakarta: Program Studi Ilmu Sejarah Jurusan Pendidikan
Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta, 2010. Bahan ajar, tidak
diterbitkan.
Susmihara. Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta:
Penerbit Ombak, 2013.
Ting, Dawoud C. M. 1980. “Kebudayaan
Islam di Cina,” dalam Kenneth W. Morgan. Islam Jalan Lurus, terj.
Abusalamah dan Chaidir Anwar. Jakarta: Pustaka Jaya.
[1] Friedrich Maximillian Muller, atau yang lebih
dikenal dengan nama Max Muller, adalah seorang filsuf dari Jerman yang
merupakan pendiri studi ilmu agama. Muller lahir di Dessau pada 6 Desember
1823. Ia pernah belajar di Leipzig bersama H. Brockhaus, dengan Schelling di
Berlin pada 1884, dan dengan F. Bopp di Paris pada 1845. Aktivitas Max Muller
terbagi atas tiga wilayah: filologi India, sejarah agama, dan linguistik. Karya
terjemahan Muller yang berjudul "Rigveda" merupakan salah satu
pencapaian besar pada abad ke-19. Ia meninggal di Oxford, Inggris pada 28
Oktober 1900. Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/sMax_M%C3%BCller.
Diakses pada Senin, 05 Juni 2017.
[2] Thomas Walker Arnold, Sejarah Dakwah Islam,
terj. A. Nawawi Rambe (Jakarta: Widjaya, 1985), h. 1.
[3] Susmihara, Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta:
Penerbit Ombak, 2013), h. 156.
[4] Ibrahim Tien
Ying Ma, Perkembangan Islam di Tiongkok, terj. Joesoef Sou’yb (Jakarta:
Bulan Bintang, 1979), h. 31.
[6] Leo Agung S., Sejarah Asia Timur 2, (Yogyakarta:
Ombak, 2012), h. 4.
[7] Ceren Ergenc, “Chinese Nation-Building
And Sun Yat Sen: A Study on 1911 Revolution in China”, Tesis (Ankara:
The Graduate School of Sosial Sciences, Middle East Technical University,
2005), h. 28.
[9] Ririn Darini, Garis Besar Sejarah Cina Era Mao (Yogyakarta:
Program Studi Ilmu Sejarah Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Yogyakarta, 2010), h. 15. Bahan ajar, tidak diterbitkan.
[10] Ibid., h.
16.
[15] M. Rafiq Khan, Islam di Tiongkok, terj.
Sulaimansjah (Jakarta: Tintamas, 1967), h.20.
[16] M. Ali Kettani, Minoritas Muslim di Dunia
Deawasa Ini, terj. Zarkowi Soejoeti (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005),
h. 131-132.
[17] M. Rafiq Khan, Islam di Tiongkok, terj.
Sulaimansjah (Jakarta: Tintamas, 1967), h. 20.
[18]
https://en.wikipedia.org/wiki/Islam_in_Cina_(1911%E2%80%93present).
[19] ibid
[20] Dru C. Gladney, "Central Asia and Cina", in The Oxford
History of Islam, edited by John L. Esposito. Oxford Islamic Studies
Online, http://www.oxfordislamicstudies.
com/article/book/islam-9780195107999/islam-9780195107999-div1-88.
[21] Menurut Rafiq Khan, “Hui Hui” merupakan sebutan populer bagi umat
Islam di Cina. Mereka ini terdiri dari tiga ras, yaitu: Hui-Hui Arab (dikenal
sebagai Ta-shih Hui-Hui), Hui-Hui Turki yang dikenal sebagai Salar, dan Hui-Hui
Mongol yang terbagi dalam cabang Uyghur yang juga dikenal sebagai Hui-Hui dan
ras Tartar yang terkenal sebagai Wei Wu Er. Lihat M. Rafiq Khan, Islam di
Tiongkok, h. 40-41.
[22] Dru C. Gladney, "Central Asia and
Cina", in The Oxford History of Islam, edited by John L. Esposito. Oxford
Islamic Studies Online, http://www.oxfordislamicstudies.
com/article/book/islam-9780195107999/islam-9780195107999-div1-88. Diakses
pada 27Juni 2015.
[24] M. Rafiq Khan,
Islam di Tiongkok, h. 16-17.
[25] Thomas W. Arnold, Sejarah Dakwah Islam, terj. A. Nawawi
Rambe (Jakarta: Widjaya, 1979), h. 268.
[26] Dawoud C. M. Ting, “Kebudayaan Islam di
Cina”, dalam Kenneth W. Morgan, Islam Jalan Lurus, terj. Abusalamah dan
Chaidir Anwar (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), h. 398.
[27] Thomas W.
Arnold, Sejarah Dakwah Islam, h. 268.
[30] M. Rafiq Khan, Islam di Tiongkok, h.
38.
[31] Ibrahim Tien Ying Ma, Perkembangan Islam di Tiongkok, terj.
Joesoef Souy’ib (Jakarta, Bulan Bintang, 1979), h. 329.
[35] Ibrahim Tien Ying Ma, Perkembangan Islam
di Tiongkok, h. 257.
Komentar
Posting Komentar